Senin, 21 Maret 2011

Tahu-tahu sore, sore-sore lama, lama-lama tahu


Ode : yang sedang pergi semoga ingat untuk kembali karena aku baru saja tahu kenapa kamu pergi aku tak pedulikan wujudmu


April masih begitu muda
Kantong-kantong sudah kosong
Gentongku juga kosong
Kanvas juga tak bergambar
Serasa sesak saja ruangan ku biasa tertidur
Kamar penuh lukisan bisu, buku catatan pribadi, juga penuh pakaian kotor
Bahkan telah dipenuhi pikiran kotor berhari-hari menumpuk di sudut otak kiri,
bocor, tumpah ruah ke dalam ruangan gila ini
Bocor halus

Hati masih saja sunyi
Menengadahlah aku keluar jendela kayu jati lapuk terbuka menghadap mentari
Rumah kayu di tingkat dua menghadap ke laut
Waktu pun telah meniti ke ujung senja
Indah nian ufuk merah jingga menghiasi langit
Perlahan awan kelabu menutupi keindahan sore
Menghapus pemandangan menganggumkan dalam sekejap
Tahu-tahu aku terpaku
Sudah lama
Sebenarnya lama sekali
Membuatku menjadi orang lama

Baru saja
Tahu-tahu aku membaru
Baru saja
Aku seolah menahu
Apa yang barusan ku lihat belum tentu ku dapat sebelumnya
Apa yang di dapat tak lagi terlihat
Berkelebat cepat segurat wajah
Waktu yang berlari cepat terrekam sejenak di benak
Aku kehilangan sesuatu yang tak terbeli
Kasihan…. sayangan…

Dalam sekejap lukisan sore berganti dari wajah jingga meradang
ke kelabu menggeram
Saja
Bagi yang melepaskan masa jeda tak akan sadari ini
Tapi membuatku mengerti
Mendung menutupi warna keemasan mentari sore

Alap-alap suara burung-burung perlahan menghilang
Dikejauhan guntur bergantian memainkan genderang bertabuh
Memanggil-manggil
Pertandakan pulang dan bersembunyi ke sarang masing-masing
Semut masuk kedalam lubang kecil milik mereka
Ayam, bebek, kambing bunting, kecoa buntung, cicak jelek, semua siap ngaso
Orang-orang mengurung di rumah dengan televisi dan segelas coklat hangat
Mereka menghangatkan hati yang damai miliknya
sedangkan aku menentang langit

Yang sedari tadi terpaku kini aku terperangah
Aku telah menyia-nyiakan berkahnya waktuku
Leherku lemas menggendong buah pikiranku yang penuh sesak
Tanganku beralas kisi-kisi menggendong kepalaku terbelenggu hikmat mendadak
Aku memangku hening yang perlahan terasa lama
Tuhan aku meminta maafmu
Aku tersadar untuk segera keluar dari keluh kesal

Dengan penuh hikmat aku hadiri pertunjukan sore yang baru
Bukan sore yang cemerlang tetapi kelabu mega pekat menggelap
Seperti diundang duduk di orchestra
Aku mengikuti arus waktu yang bergulir
Aku hanya bermodalkan sebait doa
Karena aku sedang sendiri dan Kau lah yang temaniku
Aku terlalu bersikeras untuk khawatir
Itu membuatku letih

Pertunjukan pertama gerimis turun manis
Sembari gelegar menggemuruhi langit  
Sedikit demi sedikit curahkan kandungannya yang semakin berat
Kubiarkan jendela tetap terbuka
Air hujan menyapa wajahku
Membasuh semua kotoran pikir terbuang lewat belakang
Tuuuuttt hituuuut
Baunya bukan main seperti makan bangkai saja

Angin darat membawa semua debu ke laut
Air yang mengalir di sungai-sungai bermuara di laut
Membaurkan dingin pada hawa dan air dari gunung dengan panasnya laut
Juga melarutkan keluhanku bersamanya ke laut
 
Dinginnya angin darat tak mempengaruhi suasana
Tiada wajah di dinding langit
Baik dari yang terkasih pun yang terbenci
Tak kuindahkan hariku ini
Tak juga indah hari yang perlahan menutup senja
Masa indah sudah ada ukurannya sendiri-sendiri

Beranjak semakin mendekati pelukan malam gelap
Tiada satu lampu yang ku nyalakan ku biarkan nyamuk pada datang
Sahabat diamku, sama-sama kami baru saja melepaskan sore
Sahabat-sahabat diamku: ranjang tanpa kasur, bantal tanpa sarung, buku-buku, bunga-bunga dalam pot-pot merah, sebuah Kaktus kurus hampir mampus, dan yang terakhir lukisan-lukisan dalam kanvas
Mereka tak mau lagi menemaniku menikmati hari ini
Tapi masih ada tersisa sebatang rokok
Ku nyalakan, ku hisap perlahan dan segelas kopi tadi pagi sudah dingin
masih ku teguk selagi belum basi

Ku pandangi langit seakan bertepi sejauh mata memandang saja
Sinar halilintar datang menerangi gelap memperlihatkan laut yang indah sebelumnya terang
Lampu-lampu kapal sesekali terlihat sesekali menghilang
Garis cahaya bergerak cepat dalam hujan deras seperti garis urat di kepala
Memberikan sesuatu nuansa di langit
Kuhisap dalam-dalam rokok kretek tiba-tiba mati terguyur air hujan
Sisa asapnya terbawa angin masuk ke dalam kamar

Fikiran mulai berjalan pelan mengartikan gejolak langit
Mereka-reka bagaimana rupa sekelebatan cahaya-cahaya tadi
Kali ini angin laut yang telah dingin menikamku yang bertelanjang dada
Kurus tak kuasa menahan angin dingin
Angin bergandengan dengan air hujan bergantian menggelitik kulitku yang kering
Mereka bercanda mengusik kesendirianku dan juga membasahi kamarku

Tak kusalahkan waktu yang pergi sebelumnya
Tak kusesali mengenangmu
Dahaga ku tak terhapus
Rinduku tak tersurat
Dalam kedamaian kuhitung kesalahan-kesalahanku
Tak akan pernah membuat diriku penuh sekalipun aku membutuhkanmu
Bila masih mungkin waktu yang tersisa kan ada disana
Bersama gemuruh langit sore lainnya
Ada sebuah cerita indah untuk kau dengarkan, kau baca, bahkan kau tonton
Sampai nanti disana perjumpaan yang bukan ku rindukan
Teringat yang tak terlihat lagi saat ini




April 1997, Pesisir Pantai Padang, Aik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar