Rabu, 20 Maret 2013

"Hujan Musim Panas Tergantikan"


Kembang Raya, Hollyhock dan Bunga Sepatu
mengapa kau terlihat sama?
Putih, merah muda dan sedikit sekali paduan jingga
tapi kemana dirimu sekarang?
Kabarnya digantikan Gelombang Cinta asli Amerika
atau jangan-jangan sudah tersisih Bunga Kamboja dari Thailand
atau konon ada invasi besar-besaran kaum Pakis dan Andromeda
juga usaha netralisasi para Anggrek dan Ros
menyudutkan dirimu tak diharga
dipetik tidak, dihidu jangan, dipajang apalagi
malu kuncup enggan mengembang
jika mekar pun kurang kudapan sinar matahari
terhalangi rimbun sang Beringin
warnanya memucat
putih bukan, merah muda juga tidak, apalagi kejingga-jinggaan
kelopaknya menciut
ulat naik daun menggerogoti
di pojok Taman Raya Istana
kapan saja siap diganti
besama hadirnya Presiden yang baru
-o0o-
menandai hari 04032013

Selasa, 05 Maret 2013

"Hujan Musim Panas Tergantikan"


Kembang Raya, Hollyhock dan Bunga Sepatu
Mengapa kau terlihat sama?
Putih, merah muda dan sedikit sekali paduan jingga
Tapi kemana dirimu sekarang?
Kabarnya digantikan Gelombang Cinta asli Amerika
atau jangan-jangan sudah tersisih Bunga Kamboja dari Thailand
atau konon ada invasi besar-besaran kaum Pakis dan Andromeda
juga usaha netralisasi para Anggrek dan Ros
menyudutkan dirimu tak diharga
dipetik tidak, dihidu jangan, dipajang apalagi
malu kuncup enggan mengembang
jika mekar pun kurang kudapan sinar matahari
terhalangi rimbun sang Beringin
warnanya memucat
putih bukan, merah muda juga tidak, apalagi kejingga-jinggaan
kelopaknya menciut
ulat naik daun menggerogoti
di pojok Taman Raya Istana
kapan saja siap diganti
bersama hadirnya Presiden yang Baru
-o0o-
Menandai hari 04032013

Komsitkom – Berebut Doa 1


Pagi itu Mario yang bangun telat, usai begadang tadi malam. Rush hour. Setelah membawa sarapannya dibungkus, lalu melompat masuk ke mobil Teguh, abangnya, yang kebetulan mau berangkat ngantor. Teguh sedang membaca doa di depan setir mobil, tapi Mario mengusiknya.
"Bang, boleh buruan gak? Soalnya gue telat bro." Sambil cengar-cengar memelas. Dibalas senyum sinis abangnya.
"Bra bro, bra bro, bra he....(ups sensor)! Gue lagi berdoa tauk!" nada kesal Teguh hanya dibalas dengan mengangkat bahu tinggi-tinggi dan senyum jeleknya Mario.
Disepanjang jalan lancar-lancar saja, hanya suara Mario memenuhi ruang mobil karena bersenandung. Sampai di pertigaan, ada remaja mengendarai motor menyalip mendadak. Membuat Teguh ikut menginjakan rem mendadak membuat Mario tersentak ke dashboard. Remaja itu sedang membonceng ibunya yang tengah menggendong adiknya masih balita dibalut selimut. Sepertinya adik bayi sedang sakit dan remaja itu sedang terburu-buru. Teguh lalu mengucap syukur tidak terjadi tabrakan yang berbahaya. Tetapi tidak dengan Mario.
"Bang..t! Guob...k luh! Bisa bawa motor gak sih. Naik motor ugal-ugalan. Gak mau minta maaf juga!" Ocehan Mario terhenti karena tiba-tiba Teguh menampar pipinya. Plak!
"Woooi, kenapa luh nampar gue?" wajah Mario memerah bercampur kaget.
"Karena aku lagi ikhtiar." Jawab Teguh kalem.
"Apa maksud luh ikhtiar?" Mario tambah bingung.
"Soalnya gue tadi dengar bisikan supaya diriku menampar bibir dirimu. Dan aku berdoa sebelum berangkat, meminta kemudahan dan keselamatan di perjalanan. Dan juga diberikan kemudahan berikhtiar dalam menyetir mobil ini." Jelas Teguh sambil meneruskan menyetir mobil.
"What the...???" Mario belum bisa terima.
"Lagi pula. Remaja tadi juga berdoa agar cepat sampai ke rumahsakit dengan selamat. Maka dia dimudahkan sampai rumahsakit, walau dengan cara yang tidak selamat, menyalip sana sini, menerobos lampu merah. Sedangkan dirimu? Kamu tidak berdoa apa-apa kan? Makanya sebelum berangkat berdoa, agar di jalan tidak di tegur Tuhan melalui tangan brother mu. Ya kan bro?"
Mario terdiam takut ditampar sekali lagi.

Tunas-tunas Muda


Pagi di bawah pohon tua di desa Yahwari. Bapak tua dan anaknya tengah berteduh sejenak setelah berjalan kaki dari rumah. Ayah menatapi ranting kering dan dahan tak berdaun. Lama dan diam. Lalu suara dalam dan berat keluar dari mulut ayah memecah sunyi.
"Jadi... sudah yakin kalian akan bercerai?"

Sebelum hari ini, yakni suatu siang menjelang musim panas tiba, bapak tua ini, yang sekarang duda, tengah menanam bibit Hollyhock disepanjang jalan menuju rumahnya. Untuk menyambut cucu putri kesayangannya yang akan datang, musim panas ini semua bunga Hollyhock akan berkembang menyambut putri kesayangannya dan cucu satu-satunya. Seperti ibunya dulu sangat menyukai bunga Hollyhock. 
Yang ditunggu sang ayah pun telah tiba lebih awal dari perkiraannya. Tapi bersama wajah sedih melekat di putrinya yang sudah tak muda lagi.
"Maafkan aku ayah." Putrinya membuka diri dalam percakapan serius. Sementara ayah masih diam berlindung di pohon tua dari sengatan mentari. 
"Kau tak perlu meminta maaf. Aku tahu kau jauh lebih terluka dibanding aku." Tanpa membalikan badan ayah tak kuasa menatap putrinya yang tengah tertunduk lesu.
"Aku telah memendamnya selama sepuluh tahun agar tidak membuatmu kecewa.... namun rasanya tak tertahankan."
"Menjadi manusia memang lebih kotor dari pada lumpur." Ayah sambil melirik dari bahu kanannya tanpa membalikan badan. Kedua tangannya di belakang punggung sambil bertaut.
"Sampahnya hanya perlu diangkat agar kembali bersih. Namun jejak yang ditinggalkan dengan menjadi manusia tidak dapat dilenyapkan."
Wajah sedih anaknya memerah dan masih menunduk, dari sudut matanya mencoba melihat ayahnya membalikkan badannya dan mendekat.
"Aku memercayakan si kecil Hyun kepada ayah. Karena aku butuh waktu untuk mencari jalan demi memenuhi kebutuhan kami. Aku berjanji akan kembali menjemputnya sebelum dia masuk sekolah menengah atas."
"Kau dapat mengandalkanku." Suara berat dan intonasi pelan mendalam. Ayah tak berusaha tersenyum sedikit pun.
"Mengapa kau tidak ikut tinggal di desa?" Ayah menawarkan tempat.
"Tidak, ayah. Aku ingin membagun kembali hidupku di tempat aku kehilangan segalanya." Kali ini putrinya memutar badan dan menatap jauh ke depan. Ayah kembali arah, menghadap pohon tua tersebut.
"Aku mengerti. Kau benar-benar tegar. Coba perhatikan sejenak yang diatas itu!" Ayah menunjuk daun hijau kecil-kecil yang tumbuh di batang pohon tua. Anaknya mendekatkan wajahnya pada arah telunjuk kanan sang ayah.
"Tunas-tunas muda ini berhasil menembus kulit kayu pohon yang jauh lebih keras dibandingkan kulit sapi. Bukankah itu luar biasa?"
Lalu ayah pindah menuju tanah dimana Hollyhock yang sedang berusaha tumbuh dari biji yang ia semai. Ayah jongkok dan menunjuk lagi pada daun kecil yang baru tumbuh itu.
"Dan lihat yang sebelah sini." Sang ayah mulai tersenyum.
Putrinya merukuk, menopang di kedua tangannya pada kedua tumitnya.
"Daun-daun kecil mereka jauh lebih rapuh dibanding kuku-kuku bayi yang baru lahir. Padahal mereka berhasil mengangkat gumpalan tanah yang beratnya seribu kali darinya." Lanjut ayah sambil berdiri dan meletakkan kembali kedua tangannya di belakang. Putrinya terkesima menerima petuah sang ayah.
"Tak lama lagi, mantel hijau akan menutupi semua dahan gundul pohon itu dan juga tanah coklat ini. Kehidupan juga akan memberi kita cobaan, namun itu tidak ada apa-apanya dibanding usaha yang dikerahkan tunas-tunas muda ini." Ayah berhenti berujar dan membalikkan badan melanjutkan perjalanan. Kedua tangannya berayun tegap.
"Pada setiap cobaan berat, aku sering mengamati tanah dan aneka pohon. Alam jelas akan selalu menjadi guru yang terbaik bagiku. Dan kau." Wajah ceria mulai merasuk di putri semata wayang dan mulai tersenyum. Seakan mengikuti gerap langkah sang ayah.
"Ayaaaaah. Aku langsung merasa tubuhku bersemi. Sepertinya tunas-tunas mudaku sudah tak sabar lagi ingin memulai hari." Sambil memeluk tasnya di dada, sang anak tersenyum lebar.
Sesampainya di halte. Sang putri memainkan jemarinya di ujung bibir. Lalu sorot matanya cerah.
"Aku bahkan dapat merasakan telapak kakiku tergelitik." Alis matanya naik. Ayah hanya melirik saja. Lalu ia tersenyum lagi.
Itulah sebabnya mengapa musim semi begitu berharga bagi mereka yang menggarap tanah dan menanam pohon di dalam hati mereka.

-o0o-
Kim Dong Hwa
"Cerita ini saduran, Judul buku; Sepeda Merah.”

Komsitkom – Berebut Doa 2


Ratna seorang remaja, anak dari seorang ibu pedagang warung kopi dan ayah seorang supir bajaj. Tinggal di sekitar stasiun kereta. Setiap malam ibunda berdoa agar anaknya mendapatkan usaha yang lebih baik daripada dirinya yang tidak bisa tulis baca. Juga doa-doa ayahnya agar anaknya mendapat kemudahan dalam segala perihal. Begitu juga Ratna selalu berdoa meminta kesempatan baik.
Setelah menamatkan SMA kerabat ayahnya menawarkan Ratna bekerja di pabrik boneka, pabrik baru dibangun dekat pinggiran kota. Betapa senangnya hati Ratna mendapatkan kesempatan bekerja, setelah bersyukur mendapat kesempatan menamatkan sekolah dengan predikat siswa biasa-biasa saja.
Sepanjang hidup sebelum berangkat ke pabrik Ratna tetap berdoa agar ibu bapaknya diberikan panjang umur supaya dapat menikmati kesempatan yang diberikan Tuhan pada dirinya.
Suatu hari, teman seniornya di pabrik mengajarinya tentang berdagang. Lalu ia mencoba berdagang kreditan. Memang usahanya begitu-begitu saja. Tapi ia tak kenal lelah terus belajar dari kekeliruannya. Pada saat ia telah merasa mampu untuk mengembangkan usahanya datanglah kesempatan itu, pabrik dimana ia bekerja melelang sebagian boneka yang gagal produksi. Ia dan teman seniornya memberanikan diri memborong boneka-boneka tersebut. Dengan keahlian membuat boneka yang ia pelajari, maka boneka-boneka tersebut disulap menjadi lebih baik, setelah melalui proses perbaikan disana sini.
Kejutan yang indah buat Ratna, hasil penjualan bonekanya di luar dugaannya. Berkat kebaikan dan kerendahan hatinya semua kerabat mau membeli boneka-boneka miliknya. Dan dengan modal sekecil-kecilnya ia pun mendapat durian runtuh. Kemudian ia memberanikan diri keluar dari karyawan pabrik untuk menawarkan diri sebagai pembeli tetap boneka hasil dari pabrik itu. Kesempatan itu datang lagi, pabrik menyetujui kesepakatan Ratna. Dan ia pun mulai memiliki karyawannya sendiri.
Seketika, pada acara keluarga, Ratna bertemu Karna yang masih sepupu. Karna berkeluh kesah tentang kesarjanaannya yang belum laku diterima kerja dimana pun. Lalu Ratna menawarkan Karna bekerja dengannya, sebagai sarjana ahli hitung keuangan maka ia dipekerjakan sebagai akuntan.
Berselang beberapa waktu Karna selalu mengeluhkan tentang pekerjaan dan upahnya. Sampai suatu saat berita itu sampai ke telinga Ratna. Lalu Ratna memanggil Karna untuk mendiskusikannya. Wal hasil Ratna belum sanggup memperkerjakan Karna lagi, maka keduanya memutuskan hubungan kerja.
Dalam hari-hari penganggurannya, Karna berdoa pada Tuhan. "Tuhan kenapa kau tidak berikan aku kemudahan dan kesempatan seperti Ratna? Dia cuma tamatan SMA dan anak orang susah pula. Ayo dong Tuhan!"
Dalam isak tangis ia berdoa, lalu malaikat disebelahnya berbisik, "Sudah dikasih kesempatan dan kemudahan tapi tak dipergunakan dengan baik. Ada kesempatannya dan ada ilmunya, tapi kesempatan itu jadi sia-sia. Sementara orang lain yang tidak punya ilmunya masih mau menerima kesempatan buruk sekalipun."
Lalu setan disebelah lainnya berbisik, "Udeeh, jangan dengerin dia. Emang Tuhan aja gak kasih kesempatan paling mudah buat dirimu."