Senin, 21 Maret 2011

Tabungan


Lagi-lagi disaat sendirian, fikiran ngeres akan selalu datang, aku ingat-ingat lupa (pokoke lupa) tepatnya kapan. Saat itu lagi nganggur (bukan sedang mengolah minuman anggur), juga bukan istilahnya pengacara (pengangguran banyak acara). Ini benar-benar ku lakukan dengan total (menganggur total). Aku merelaksasikan otak dan badanku dari pekerjaan apapun. Tapi kalau jabatan pengangguran itu ada, maka aku merasa sangat ingin mengakhirinya dengan jawatan yang baru yaitu mengisi kolom pekerjaan di KTP dengan sebuah nama pekerjaan. Aku ini pengangguran kata orang-orang. Tapi bukankah kata ‘pengangguran’ itu juga sebuah bidang pekerjaan yang harus dilakoni dengan total, maka aku akan mengisi kolom pekerjaan tersebut dengan jabatan ‘Pengangguran’. Lalu kenapa ada larangan mengisi kolom di KTP tersebut dengan kata menganggur, atau pengangguran, sampai-sampai carik si aparat desa menganjurkan (menawarkan) dengan isian ‘swasta’. “Maksudnya apa swasta itu?” aku balik bertanya kepadanya. “Karyawan perusahaan swasta atau wiraswasta!” katanya dengan nada marah. “Hah?” kataku sambil menganga lebar-lebar. Akhirnya ku putuskan mengisi dengan sebuah nama pekerjaan: ‘Mahasiswa’. Bagaimana kalau Gayus harus jujur mengisinya dengan sebuah pekerjaan: ‘Koruptor’.
Bagiku semua pekerjaan adalah ibadah, maka pengangguran termasuk beribadah, dalam diam orang suka menyimpan tenaga hingga saatnya orang akan meledak, dalam menganggur termasuk pekerjaan mengumpulkan energi yang siap dicurahkan pada pekerjaan apa saja termasuk amal sosial, gotong royong membersihkan got misalnya, meronda, atau membantu menguburkan jenazah warga yang wafat, atau menyendiri dalam kamar dan menulis cerita bodoh tapi laku. Pekerjaan yang tidak mengharuskan berangkat pagi pulang kemalaman. Berdasi dan mengendarai mobil keluar rumah untuk mengantor. Atau diwajibkan berpenghasilan UMR setiap bulan. Alangkah baiknya jika cerita sinetron di TV menceritakan cerita pria tampan pengangguran yang baik hati, tidak mencuri, tidak suka bertengkar, dan musik latarnya berirama lembut tidak usah buat penonton deg-degan, juga ceritanya mudah sekali ditebak. Aku yakin tidak akan laku. Tapi aku rasa cerita ini lebih baik dari pada cerita nyata anak orang kaya yang mati karena over dosis kecanduan narkotika.
Hari itu aku berleha-leha di kamar yang baru selesai direnovasi, diatas tikar bambu, di lantai semen tanpa keramik, dengan dinding lama sebelah barat dan utara yang masih terpasang, sedangkan dua arahnya lagi masih plong belum ada dindingnya. Tidur-tiduran sambil membaca sebuah halaman majalah membahas tentang peruntungan. Lalu kembali terbersit tanya di hati, sampai kapan peruntungan itu akan habis? "Pertanyaan gokil apa pula itu?" sambil aku menelaah semua amalan baik yang telah aku lakukan, juga membayangkan kelakuan nakal yang pernah aku perbuat. Lebih banyak mana? Lalu aku berusaha mengingat kelakuan buruk yang pernah aku perbuat, semua dengan mudah aku ingat, karena ada perasaan senang saat melakukannya, tapi penuh penyesalan di akhirnya. Begitu aku berusaha mengingat perbuatan baikku, aku sangat sulit mengingatnya. Bah! Walau bagaimana pun aku tetap berusaha mengingatnya. Hanya sedikit yang bisa ku ingat karena keburu terlelap dalam gelapnya kamarku ditemani hewan peliharaan; nyamuk, cecak dan semut.
Dan kini setelah sekian waktu berlalu, aku teringat kembali fikiran ngeresku itu, yaitu jelang waktu yang lama sebelum hari ini, kira-kira sebulan yang lalu, dimana aku sudah hampir melupakannya tiba-tiba muncul kembali dari memori otakku yang makin menua. Perlahan tapi pasti semua itu teringat kembali. Semua berkat ucapan sahabatku yang pada hari itu mengajakku minum wedang jahe di pinggiran jalan Slipi. Aku tersenyum mengingatnya. Betapa tidak teringat lamunan di lantai semen itu ada hubungannya dengan omongan sahabatku ini. Berusaha mevisualkan ucapan sahabat dengan mimik wajahnya, yang mengatakan bahwa masa lalunya terlalu kaku dan tak penuh warna, terlalu banyak konflik keluarga, cerita cintanya tak happy ending, dalam pekerjaan sering dicurangi. Dan, sekarang merasa sudah kasip untuk mencari jodoh, tergesa untuk menata emosinya yang mulai meledak-meledak ingin memulai kembali masa lalunya di kemudian hari, dan juga merasa diburu waktu untuk memulai karier baru. Aku tertegun mendengarnya. Apa karena peruntungannya yang habis, atau apa karena ia terlalu tulus menilai ketulusan orang lain, atau apa karena ia terlalu naif, atau apa karena kurang cerdas, atau.... apalah itu.
Aku jadi ingin mencoba menghitung punyaku, aku tumbuh dengan sangat banyak warna dan banyak cerita, dahulu aku sangat usil dan nakal, aku merasa melakoni dengan wajar walau terkadang kurang ajar. Kembali ke pertanyaan bodohku sampai mana peruntungan itu akan habis. Apa setiap amal baik itu ada batas waktunya untuk keberuntungan berikutnya? Apa setiap amal jahat itu ada batas waktu untuk karmanya segera dibalas di kemudian hari? Apa jodoh dan rejeki, pertemuan dan perpisahan, kelahiran dan kematian, semua ada batasan untuk ditela’ah dengan pikiran gampangan? Semuanya dipertanyakan dan ternyata semua tidak semudah itu.
Aku dulu pernah menjalani kesendirian. Sendirian yang benar-benar sendirian, tanpa sanak saudara, tanpa keluarga, merantau di negeri orang. Tapi aku selalu merasa riuh ditengah sahabat, selalu ramai dalam canda teman juga kekasih hati. Bayangkan jika ada orang baru menyadari kesendiriannya setelah sekian lama hidup bersama dalam keluarga besar. Apalagi akan lebih aneh lagi jikalau merasa sendirian di tengah-tengah sahabat yang riuh. Atau sendirian diantara para teman dan kekasih hati, itu baru asing. Akan tetapi kalau menyendiri untuk tarekat itu biasa saja dan wajar, atau juga menyengaja sendiri di tengah riuhnya orang yang saling berpacu itu artinya bersemedi, atau menyendiri ditengah malam untuk berkonsentrasi melakukan hajat itu namanya khusuk. Begitu besar rasa sesalnya sahabatku pada sebagian cerita hidupnya membuat ia berprasangka buruk. Aku hanya mencoba menjelaskan padanya bahwa nasib buruk yang kita perbuat itu tidak ada karmanya. Juga buat amal baik yang kita lakukan sebelumnya juga tidak beralasan bahwa setelah mendapat balasan nasib baik, lalu amalan baik kita habis di saat pembalasan itu. Bukan begitu rasanya. Sebenarnya aku hanya mencoba untuk membangkitkan semangatnya saja.
Jika seseorang melakukan amal baik tentunya akan mendapat balasan baik juga, dan itu bisa datang kapan saja dan tidak terduga-duga. Seperti kita pernah menolong seseorang suatu saat kita juga akan mendapat pertolongan dari orang lain. Begitu juga sebaliknya jika kita menyakiti seseorang maka orang lain pula akan menyakiti kita dengan hal yang sama. Tapi itu bukan artinya karma karena kita dulu pernah menyakiti seseorang atau menolong seseorang. Jika kita tidak pernah mencuri belum tentu kita tidak akan kecurian. Jika menolong orang menyelamatkan dari kebakaran belum tentu kita akan mendapat musibah kebakaran. Artinya ini hanya keresahan yang terlalu dalam dari diri sahabatku karena melihat sisi sialnya saja. Barangkali saja ia sudah mendapat keberuntungan itu saat ia tidak menyadarinya, atau sadar keberuntungan itu akan datang tapi ia menghindarinya.
Pernah sekali waktu aku juga berada di posisi sohibku ini, yaitu sewaktu dalam kamar tidurku yang belum jadi itu, menerawang jauh tentang keberuntunganku, apakah sudah habis atau belum. Berfikir apakah amalan baikku sudah habis masa tenggangnya dan berfikir sudah tidak baik lagi. Berfikir apakah cobaan belum berakhir dan diharuskan bertabah lebih lama lagi dalam sabar. Atau terfikir kalau aku juga pernah melepaskan rejeki yang datang padaku dikarenakan keadaan lain memaksa aku untuk melepaskannya. Bahkan salah memilih antara dua atau tiga pilihan, dan terkadang meleset lalu menyesalinya. Semua itu adalah peruntunganku yang tidak ada hubungan dengan kesialan, kalau aku bilang sih ini suratan nasib yang aku jalani tanpa aku pernah tahu akan berakhir seperti apa jadinya.
So… aku bilang saja padanya,
“Sob… ini semua belum usai. Jangan percaya kutukan, kesialan, karma, apalagi umur kita masih belum ditentukan akan berakhir besok. Coba lagi aja. Pertemuan dan perpisahan, kelahiran dan kematian, nasib baik dan nasib buruk, semua udah ada yang ngatur. Tugas kita cuma menjalaninya aja dengan ilmu dan amal yang baik. Jadi elo enggak sial-sial amat, masih banyak yang lebih sial dari elo sob!”
Tabungan amal baik dan jahat itu ada balasannya, tapi bukan sekarang, nanti, dikemudian hari, di hari perhitungan nanti. Aku sangat meyakini bahwa tabungan baik dan buruk itu adalah catatan yang diperbarui setiap hari. Aku fikir-fikir lagi, kalimat yang aku ucapkan itu, penyemangat atau sebaliknya? Entahlah. Setiap orang pasti melakukan kesalahan, baik disengaja atau pun tidak disengaja tapi bukan berarti berakhir sial. Mungkin kalimat ini lebih tepat. Barangkali???
“Hati-hati aja deh sob! Doa gue bersama loe. He he he. Percayakan semua doa itu akan dikabulkan, tinggal bagaimana kita memantaskan diri atas doa itu dan bersyukur. Jadi mulailah dengan kebaikan sebagai doa dan semua kerja adalah ibadah. Bagiku melakukan sesuatu itu tak perlu ada pembuktian, tapi setidaknya berguna buat diri sendiri, orang-orang terdekat, dan orang di sekitar kita, termasuk tetangga.”
Saat ini, seperti terasa baru saja terbangun dari tidur, aku menggeliat merasa tidak enak badan, terasa pegal-pegal dan nyeri otot. Terbangun di kamarku yang sudah jadi dengan empat tembok bujursangkar, beralas keramik, di dinding kamar terpampang foto diriku beserta seluruh keluargaku dan istri. Aku meneruskan tidurku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar