Kamis, 28 April 2011

“Setiap Senja di Pelupuk Mata”


Senja dalam sebuah pelukan cerita
mengelayut di pelupuk butir-butiran air
dengan sejumlah kecil genangan air pun menembus menuju ruang dalam hati
gemiricik lembut dengan harmonis memberikan nada
tik tik tik tik tik tik tik
satu per satu tetesan mulai membasahi lantainya
perlahan dan sangat lamban
teratur semakin pelan
setelahnya diam
riak airnya yang telah ruah di permukaan melamurkan cerminan bayangan ragamu
terkunci di ruangan itu
mengunci diri dari dalam

Senja perlahan menghitam
matahari perlahan tenggelam
gelap menyelimuti hanya bias cahaya tersisa dari dalam ruangan itu
semakin pelan ku ketuk kan pintu
aku takut membangunkanmu
ingin sekali aku masuk dan merapikan ruangan itu
dan membersihkan lantainya agar tampak berseri-seri
dan memasang banyak lilin agar penuh cahaya
dan memetikkan bunga tuk ditambatkan ke dalam vas-vas kosong
lalu memutarkan kaset berisikan lagu-lagu kesayanganmu
karena aku tak bersuara merdu tuk bisa merayumu
namun
aku terkunci di luar

Senja tak lagi diam
sekejap saja langit pun semakin kelam
suara guntur memecahkan kesunyian
halilintar seakan membelah langit
sebentar lagi aku dan kau kan kuyup
ruangan tak beratap tapi dindingnya terlalu tinggi
tak sanggup jemariku menahan tubuh untuk aku mendakinya
sebentar lagi cahayamu padam terendam hujan
tapi kau biarkan tempat ini diam
aku dan kau bungkam
sekali lagi bunga yang ku petik tadi siang akan layu di tangan
kuasa dan diam

Senja menjelang malam
kuasa dan diam
sampai kapan aku tak pernah tahu
(sementara engkau yang berada di dalam ruangan itu
telah kau bangun rumah baru
dinding itu hanya pembatas tabu yang kau minta pada Tuhan untuk membatasiku
dan kau layak tidur berselimut kain lembut
menyalakan perapian menghangatkan air teh tubruk
menyaksikan keramaian permainan bocah
dan ruangan terasa riuh dengan canda anak-anakmu)

Djakarta, ode CA
menandai hari
28042011

“Senja di Pelabuhan Kecil”


ni kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
...
Gerimis mempercepat kelam.
Ada juga kelepak elang

28 APRIL, HARI CHAIRIL ANWAR

“Dua Sajak yang Serupa Tapi Tak Sama”

Archibald MacLeish
THE YOUNG DEAD SOLDIERS DO NOT SPEAK

Nevertheless they are hear...d in the still houses: who has not heard them?
They have a silence that speaks for them at night and when the clock counts.
They say, We were young. We have died. Remember us.
They say, We have done what we could but until it is finished it is not done.
They say, We have given our lives but until it is finished no one can know what our lives gave.
They say, Our deaths are not ours: they are yours: they will mean what you make them.
They say, Whether our lives and our deaths were for peace and a new hope or for nothing we cannot say: it is you who must say this.
They say, We leave you our deaths: give them their meaning: give them an end to the war and a true peace: give them a victory that ends the war and a peace afterwards: give them their meaning.
We were young, they say. We have died. Remember us.


Chairil Anwar
KARAWANG - BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

Rabu, 27 April 2011

Ayakan


Hasil baik dan buruk adalah sebuah keputusan untuk memperkerjakan dan melakukannya, terlepas dari itu hanyalah keinginan belaka.
Menyalahkan suatu petaka atau bencana sebagai dalih kerusakan alam yang harus dimaknai sebagai sebab dari akibat ulah pemimpin dan oknum, tidaklah seluruhnya salah. Tetapi kita adalah bagian dari unit-unit yang harus ikut mengawal dan mengontrol kelestarian alam itu. Karena bencana bukan terjadi begitu saja, lalu logika mengatakan terjadinya semua petaka dikarenakan kesalahan umat lain yang tidak memelihara kebaikan. Petaka yang terjadi tidak hanya dalam keadaan selalu terjaga dan sadar akan senantiasa berbuat waspada, tetapi tidak melakukan pemeliharaan alam, atau membiarkan orang lain merusaknya, sama saja dengan perlakuan menantikan sebuah bencana.
Karena alam bukanlah sesuatu yang tidak bakal habis, segala sesuatu akan ada batasnya, apalagi jika tidak ada pemeliharaan dan penanaman ulang. Contoh sederhana, tertulis di papan pemberitahuan “kebersihan sebagian dari iman”, lalu banyak orang yang merasa menjaga keimanannya dengan mudahnya membuang sampah sembarangan. Artinya, orang dengan sadar petaka itu bagian dari kehidupannya lantas mengapa menyalahkan orang lain pula, sementara ia tidak memelihara kelestarian, lalu menuntut orang lain harus memeliharanya.
Contoh kecil lainnya, kita terlalu sering mendengar nasehat, “kalau membuang paku, pecahan kaca atau duri di jalan adalah amal baik dan sebuah kebajikan yang akan terus diwariskan.” Itu sudah sering dinasehatkan. Akan tetapi bagaimana dengan lubang yang menganga di depan rumah yang setiap hari orang yang melewatinya harus berhati-hati, bahkan ada yang jatuh dikarenakannya. Membiarkan lubang itu menganga berarti membiarkan kecelakaan lainnya terjadi, keburukan itu terus diwariskan. Perbaikan kecil dan sederhana adalah menutup lubang itu dengan tanah atau batu, barang sejenak dan tidak membutuhkan tenaga banyak tetapi telah menolong banyak orang.
Kebaikan harus terus diwariskan, karena untuk menjaga dan memperpanjang umur alam ini adalah tugas orang-orang yang tidak hanya berniat baik dan pemikul tanggung jawab yang besar pemimpin banyak umat. Tetapi orang seperti kita juga bisa, dengan cara yang sederhana tetapi menghasilkan kebaikan adalah cara efektif dan bermanfaat.
Niatnya baik, prosesnya baik dan hasilnya juga harus baik. Karena hanya mengerjakan sesuatu tanpa niat baik maka pengerjaannya juga harus baik, bukan berarti ingin menolong orang dengan mencuri dan menipu. Robinhood model yang sering dipertontonkan dimana kerajaan dipimpin oleh pemimpin buruk dan dilawan dengan cara buruk pula. Mencuri adalah mencuri, tetap saja tidak ada yang salah. Jangan berharap semua kebaikan akan menghasilkan kebaikan pula tanpa pengawalan dan pengamanannya proses terjadinya kebaikan sampai diwariskan, karena keburukan siap menyusup dan warisan akan diperebutkan dg cara licik sekalipun.
Tuhan Maha Esa telah menciptakan perbedaan untuk manusia melakukan pengkajian, baik itu berbeda warna kulit, suku dan ras, maupun agama dan kepercayaan. Bahkan wajah satu makhluk dengan yang lain tidak ada yang persis sama, pasti ada saja pembedanya, itu artinya setiap makhluk di beri satu wajah menandakan bahwa Tuhan itu memang Maha Satu. Semua itu adalah hasil Tuhan Maha Karya. Mahkluk yang berakal telah melakukan pembedaan, merasa baik dan terbaik lalu menilai yang lain buruk dan terburuk. Menganggap sebagai makhluk yang tinggi lalu merendahkan makhluk lainnya. Manusia juga bisa tidak seberguna nyamuk. Kita semua sama, Tuhan kita satu, Kita yang membeda.

Kamis, 21 April 2011

(Hahay Story 038) PENSIL (Penanya Usil)


Saat di warung sembako milik ibu Leni, si Tello bocah yang lugu dan suka usil ingin membeli pensil dan sedang memilih pensil yang ia sukai. Tello menghampiri warung itu yang kebetulan agak berjauhan dari rumahnya. Lalu Tello memilih-milih dan menimbang-nimbang, warna apa yang cocok dan bergambar kartunis yang ia suka. Hanya ada lima pilihan gambar dan lima pilihan warna, tetapi hampir satu jam Tello tidak bisa memutuskan pensil mana yang ia hendak beli. Ia suka gambarnya tapi tak suka warnanya, begitu juga sebaliknya ketika ia suka warnanya tapi tidak suka gambarnya. Tello kebingungan.
Ibu penjaga warung mulai kesal melihat tingkah Tello, setelah pengunjung yang lain hilir mudik datang-pergi berbelanja di warung bu Leni, tetapi Tello belum juga pulang. Si ibu bolak-balik melewati Tello, akhirnya ibu Leni memutuskan untuk membantu Tello agar mempercepat keputusan pilihannya. Diajaklah Tello ngobrol.
“Nak kamu mau pilih yang mana sih sebenarnya?”
“Ah ibu bisa aja!” jawab Tello.
“Ibu itu nanya, kok malah bisa-bisanya ibu? Bagaimana toh?”
“Ah ibu, bikin saya grogi aja!” jawab Tello lagi.
“Ibu ini nanya. Nanya sama kamu. Kamu itu mau beli apa sebenarnya?” bu Leni mulai kesal dan menarik nafas panjang berusaha sabar menghadapi anak ini. Pembeli adalah raja, termasuk raja gedeg yang satu ini.
“Lah emangnya ibu gak punya anak?” tanya Tello lagi.
“Yah punya! Ibu punya anak 6. 3 perempuan dan 3 laki-laki. Emangnya ada hubungannya toh dengan kamu?”  ibu Leni mulai kesal lagi tapi tetap sabar.
“Emangnya ibu tau sifat dari anak-anak ibu?” tanya Tello lagi, ditanya malah balik bertanya.
“Haaaaaaah. Ya iya lah ibu tau, mereka kan anak-anak ibu. Si Koko, dia itu penyabar. Si Kiki dia itu pemberani. Si Kaka dia itu dermawan. Hemmm. Si Tatik, dia itu penurut sama ibu. Si Tutik itu bawel. Dan yang bungsu si Titik, dia itu rajin tapi sedikit manja, maklum lah bungsu. Ehhhh, emangnya ada perlu apa sih pake tanya-tanya segala?”  bu Leni kesal tapi penasaran juga, lama-lama ni bocah mulai nge-gemesin.
“Ohh begitu. Saya sekelas sama Titik, bu.”
“Trus?”
“Berarti saya tau sifat lain dari anak-anak ibu.” Tello mulai mengakrabkan diri.
“Aaa pah?” tanya ibu Leni manja.
“Lima dari orang anak ibu selain Koko adalah pemarah. Lima orang lagi selain Kiki, mereka penakut. Lima orang lagi selain Kaka ternyata pelit. Lima orang lagi selain Tatik suka membantah sama ibu. Lima orang lagi selain Tutik adalah pendiam. Dan lima orang lagi selain si bungsu Titik yaitu orangnya malas dan kebanyakan manja. Betul gak bu?” Tello menjelaskan analisanya dengan menggunakan lima jarinya sebagai pengingat, diangkat satu per satu jarinya sambil menjelaskan. Wajah ibu Leni merah padam. Kekesalannya memuncak. Dadanya sesak, naik-turun mengikuti nafasnya.
“Hemm haah. Hemmm haaaah. Hem haaaaah. JADI KAMU INI MAU BELI APA ENGGAK?”
“Saya mau beli. Taaaaaapi, saya ada satu syarat. Ini rahasia! Ibu gak boleh lihat pensil yang saya beli. Soalnya ini buat kado ulang tahun si Titik. Dan ibu gak boleh bilang sama Titik isi kado saya, ibu harus jaga rahasia ini. Kalau rahasia ini sampai bocor, maka sifat jelek anak-anak ibu akan saya umumkan pake toa mesjid. Sekarang ibu tutup mata, saya pilih dua pensil ini aja.”
“Harrrrggggzhdtstesssrrrggghh.” Huh hah huh hah, nafas ibu semakin kencang menahan kesal.
Ibu Leni gondok dan kesalnya telah sampai di amandelnya siap untuk meledak, menumpahkannya pada Tello bocah tengik. Berhubung Tello adalah teman anaknya maka bu Leni tetap memenuhi syarat yang diajukan Tello. Sudah dua jam meladeni ternyata hanya mau beli dua buah pensil untuk kado ultah anaknya, dan itu pun biasa ia lihat setiap hari di warungnya, ia bisa tahu pensil mana yang Tello beli tanpa harus membuka matanya.
Ahay…..