Senin, 21 Maret 2011

(Hahay Story 020) Ale Dan Maure



Seorang anak berambut ikal bergelombang, seperti ombak di tanah kelahirannya pantai Papua, sedang bernyanyi lagu dari Sabang sampai Marauke. Bernama Ale, bersekolah di salah satu SD di ibukota Jakarta. Ketika Ale sedang bernyanyi lagu tersebut semua murid terdiam menikmati suara emas anak Papua ini. Selain suara yang baik Ale juga menyanyikan dengan wajah yang penuh pesona. Alangkah indahnya tampilan yang dibawakan Ale. Ibu guru terkagum-kagum, teman-temannya penuh haru memiliki seorang teman yang pandai bernyanyi.
Tetapi tiba-tiba terjadi hal yang menggegerkan karena Ale menyanyikan syair lagu tersebut dengan syair berbeda tidak seperti layaknya dari Sabang sampai Marauke, tetapi Ale menyanyikanya hanya sampai Porong. Jadi syair lagu tersebut berubah menjadi dari Sabang sampai Porong bukan sampai Marauke. Ibu guru kaget mendengarnya. Lalu ibu guru yang tadi menyuruhnya bernyanyi menerangkan pada Ale bahwa syair tersebut salah. Ibu guru memaklumi kesalahan muridnya, karena murid bisa saja salah mungkin belum mendengar syair yang tepat dan benar. Ibu guru tersenyum sambil mendekati Ale.
Dengan baik hati ibu guru menyuruh Ale mengulangi lagu tersebut sambil memberi contoh syair yang benar dengan cara menyanyikannya di hadapan murid lainnya. Ibu guru penuh hikmat menyanyikannya tetapi wajah Ale kecut mendengar ibu gurunya bernyanyi. Ale mengangguk-angguk, ibu guru tersenyum melihat tanda setuju dari anggukan kepala muridnya. Dengan memberi waktu dan tempat ibu guru menyilakan Ale bernyanyi. Ale kembali bernyanyi lagu yang sama dan berakhir dengan syair yang sama sambil sesekali menatap Maure teman sekelasnya yang kebetulan sama-sama berasal dari Papua. Maure berambut keriting dan berkulit hitam manis, sedangkan Ale berkulit putih dan berambut ikal bergelombang berwarna kepirangan. Perbedaan yang mencolok walau berasal dari satu propinsi yang sama.
Ibu guru kembali terheran-heran melihat kelakuan Ale yang sepertinya sengaja menyanyikan lagu tersebut dengan lantang dan berani. Ibu guru takut kalau-kalau suara Ale tedengar guru yang lain akan berdampak politik baginya. Karena Markus banyak berkeliaran karena tidak ada job lagi di dewan, atau pengacara yang haus tampil juga sedang berkeliaran dimana-mana, apalagi pers yang gila berita akan menganggap ini kasus integrasi sosial. Dengan ketakutan setengah mati, takut akan adanya somasi, ibu guru mendekati Ale lagi dengan akrabnya, juga dengan sabarnya seorang pendidik, karena murid salah barangkali saja karena salah ajaran maka ibu guru berniat memperbaikinya.
Ale mendengarkan nasehat ibu guru dengan hikmat. Lalu ibu guru memberikan kempatan sekali lagi kepada Ale tetapi dengan catatan agar Ale bernyanyi dengan nada yang sedang saja, jangan berteriak-teriak, atau semangat yang ibu guru rasa tidak perlu. Sambil menoleh ke jendela kemudian ibu guru menyuruh Ale bernyanyi sambil menemaninya di samping Ale.
Ale lagi-lagi berulah dengan menyanyikan syair yang sama dengan semangat yang sama dan suara yang lantang melebihi sebelumnya tetapi kali ini sambil menunjuk wajah Maure. Jantung ibu guru hampir copot. Dengan segera ibu guru membekap mulut Ale dan tidak membiarkan Ale meneruskan lagu tersebut. Kasus ini akan bertambah besar, karena Ale merusak lagu yang sudah ada walau dinyanyikan dengan nada yang baik dan suara emasnya yang merdu. Sekali lagi ibu guru menoleh keluar jendela dengan mata penuh mawas. Ibu guru yang penuh sabar ini walau dengan jantung yang berdegup kencang mencoba cari tahu mengapa Ale menyanyikan lagu tersebut dengan cara yang salah walaupun sudah diajarkan syair yang benar. “Ale! Mengapa kamu bernyanyi dengan lagu yang sama? Kan ibu sudah ajarkan yang benar padamu.”
Ale diam saja sambil menunjuk kepada Maure. Maure merasa dibawa-bawa masalah dengan cepat memalingkan muka dari padanya. Ibu guru heran dengan jawaban yang Ale beri, ada apa dengan Maure, dan mengapa Ale tetap bersikukuh menyanyikan lagu yang salah. Ibu guru dengan sabar bertanya kembali kepada Ale.
“Ale coba kamu ceritakan, sebenarnya ada apa dengan Maure, dan mengapa kamu bernyanyi untuk Maure?” ditanya demikian wajah Ale berubah merah penuh kekesalan menjawab pertanyaan ibu.
“Aku bernyanyi bukan untuk Maure, aku benci dia. Kata Maure aku bukan anak Papua. Dia bilang aku tidak boleh ke Marauke. Jadi aku bernyanyi hanya sampai Porong saja karena Maure tidak aku ijinkan datang ke Porong.”
Ibu guru terduduk lemas di samping Ale dengan wajah penuh ketakutan. Ale dengan santai kembali ke tempat duduknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar