Senin, 21 Maret 2011

(Hahay Story 017) SARIMIN - TAGOR



Sarimin mencoba keberuntungannya kerja jadi ke’nek sebuah angkot. Orang Jawa tulen jadi ke’neknya mobil orang Batak, si Tagor. Hari pertama kerja. Cari penumpang di prapatan. Lalu ia turun dari angkot dan berteriak-teriak penuh kelembutan khas orang Jawa. Lalu si sopir marah-marah.
“Macam mana kau cari penumpang kalau teriakan kau itu pelan betuuul. Bah!” Tagor menggerutu.
“Ngge mbang. Nanti saya coba teriak lebih keras lagih.” Sarimin cengengesan.
“Ungga ungge! Ungga ungge….” Tagor masih menggerutu. 
Tak lama berselang datang penumpang dari kejauhan melambaikan tangan memanggil-manggil angkot tersebut. Kemudian Sarimin menyuruh Tagor agar memundurkan mobilnya menuju penumpang tersebut.
“Munduuuur. Munduuur. Set set setooooop.” Suara Sarimin seperti merintih menahan sakit.
Angkot pun berhenti tetapi Sarimin masih menahan sakit.
“Bang, bang, maj.. maj.. maju ndikiit aja bang! Soale, ban mobil abang berhenti diatas kaki saya.” Jawab Sarimin sambil menahan sakit.

Hari kedua. Setelah semalaman Sarimin berlatih suara agar terdengar keras dan lantang, hari ini dia yakin bakal dapat penumpang banyak. Ketika hari itu jam makan siang Tagor bermaksud mengajak Sarimin makan di restoran. Bermaksud hendak memarkirkan angkotnya, Tagor menyuruh Sarimin member aba-aba.
“Mundur. Munduur. Mundur lagi bang. Lagi. Lagi. Lagi.” Suara kalem Sarimin memarkirkan angkotnya Tagor.
“Terus. Terus.”
Tiba-tiba, brakkk. Angkot bang Tagor menabrak tembok yang ada dibelakangnya. Betapa murkanya si Tagor melihat angkotnya penyok.
“Bah!!! Dasar kenek taiiiiiiiik!”
“Ndak mbang ndak kenek taik. Kenek tembok!” jawab Sarimin kalem.

Hari ketiga. Setelah seharian mengangkut penumpang hilir mudik berhentilah angkot si Tagor di depan sungai yang jernih dan berbatuan. Tagor bermaksud membuang hajat. Entah kenapa perut Sarimin pun mules. Berdua mereka bergegas ke sungai untuk bersama-sama hendak membuang hajat.
Sarimin telah memilih batu tempatnya untuk jongkok dan pup. Lalu ia membuka celananya dan mengerang, ngeden sekuat tenaga. Tiba-tiba Tagor memilih batu yang ada di depan Sarimin tengah jongkok, ia membuka celananya dan pup di depan Sarimin. Lantas Sarimin dongkol.
“Bang? Bang? Kenapa abang jongkok di depan saya bang?” tanya Sarimin kalem.
“Ah kau. Tenang sazalah. Kau kan kenek. Aku ini sopir, pastinya aku di depan.” Jawab Tagor sambil menahan geli.
 Dengan cekatan Sarimin pindah ke batu di hadapan Tagor dan pup di sana. Tagor pun dongkol.
“Bah macam mana pula kau bisa ke depan aku?”
“Tenang bang. Saya justru pidah ke belakang. Lihat tai saya saja ada di belakang tai bang Tagor.” Sambil menunjuk tahi yang diam-diam menghanyutkan.
Si Tagor kesal, lalu ia membalikkan badannya menghadap ke arah yang lain. Keduanya tengah asik ngeden, tiba-tiba air mengeruh, Sarimin buru-buru menyudahi hajatnya. Kemudian ia berlari ke tepi sungai tapi tidak di ikuti oleh si Tagor. Sarimin pun berteriak-teriak memanggil dan memperingatkan bang Tagor.
“Baaaang! Air bah….! Baaaang! Air bah…! Air bah bang!” teriak si Sarimin gemes, tangannya melambai-lambai dan kakinya berlonjak-lonjak geregetan.
“Bah! Memang ini aiiir… bah! Kau sazalah yang bah!” jawab si Tagor kesal.

Dalam sekejap air bah yang datang dari atas bukit menyapu semua yang di lewatinya sepanjang sungai itu termasuk bang Tagor. “Bang! Bang! Sudah tak bilangin ada air bah! Ngeyel sampean! Sopo sing nyetir? Aku kan ndak bisa mbawa mobil.

Ahay...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar