Senin, 21 Maret 2011

(Hahay Story 014) DESA JIMBALANG



Tersebutlah kisah dusun Jimbalang yang rukun dan damai. Ahay. Pada suatu hari yang becek, datanglah seorang tukang ojek, ngebut melewati kubangan, berlagak bak jagoan. Terpercik air kubangan masuk ke matanya sendiri. Ia menghentikan laju motornya dan membasuh muka dan sesaat tersadar mendapati dirinya tengah berada di dusun yang baru kali ini ia masuki. Badan penuh tato dan muka beringas, bekas napi dan juga sangat bangga bila disebut preman. Jek Jon panggilannya. Kenapa dengan nama Jek Jon, yang berarti si Jon tukang ojek, cukup saja memanggilnya jeeeeeek pasti si Jon mengerti.
Disaat membasuh muka dari air di guci dari salah satu rumah warga, terdengar olehnya riuh rendah suara orang tengah bersenandung. Irama dan lagu yang terdengar dari pengeras suara itu sayup-sayup menggoda telinga si Jon. Kemudian ia mencari sumber suara itu, berasal dari keramaian di dusun tersebut yang tengah merayakan panen raya. Ia meninggalkan motor jeleknya dan berjalan kaki menuju keramaian tersebut. Sesampainya ia disana hatinya langsung tergelitik, badannya bergerak mengikuti irama, lagu dan tari-tarian anak gadis desa itu. Tanpa malu-malu ia langsung masuk ke tengah-tengah pesta rakyat tersebut.
Kehadirannya di tengah pesta itu mulai tercium olah tetua-tetua dusun. Semua anak gadis ia goda. Merasa jagoan dan perkasa ia mulai menunjukan ketidak-sopanannya dihadapan sesepuh. Lalu seorang kakek menegurnya, dengan sombong ia mengacuhkannya. Asyik berjoget tenggorokannya mulai kering, bergerak sambil jogat joget ke pinggir arena joget melahap sajian yang tersedia. Mulutnya penuh mengunyah dan tenggorokkannya pun tersedak. Meneguk habis teh manis yang ada digelas. “Wah gak asyik nih, gak ada tuaknya! Gak enak kalo gak mabok,” ia pun menggerutu. Seorang kakek tadi mengikutinya pun menegur si Jon kembali, bahwa terlarang minum-minuman keras ada di dusun ini, apalagi untuk meminumnya, menyentuhnya saja terlarang.
 Merasa kurang asik lagi Jon mulai bertingkah. “Hai orang tua! Tau apa kau tentang asyiknya dunia hah?” si Jon mulai brengsek.
“Hai anak muda, tak perlu tau enaknya duniamu itu, disini bukan tempat untuk itu.” Sang kakek mulai melawan. Si Jon mengajak duel sang kakek ke tanah lapang. Si kakek terkekeh geli. Jon naik pitam merasa diremehkan. Suasana tadinya riuh sekonyong-konyong diam hening. Semua menyaksikan kedua orang ini tengah saling menyindir. Merasa semakin diremehkan oleh ucapan kakek, Jon menantang semuanya yang hadir untuk duel dengannya.
“Ayo keluar, sini! Kalau perlu jagoan nomor satu di dusun ini. Aku lah jagoan nomor satu. Jawara tanah hitam!” Jon memulainya dengan mengangkat lengan bajunya tinggi-tinggi. Menunjukkan otot tangannya yang gempal. Menggepal tinjunya siap berkelahi.
“Keh keh keh keh.” Kakek semakin geli.
“Kau mau bertemu dengan jagoan nomor satu di dusun Jimbalang ini. Boleh boleh boleh.” Sambil menunjuk ke arah seorang bongkok bertongkat kayu, kakek itu memanggilnya maju. Dengan jalan terbungkuk dan perlahan ia pun maju. Tanpa basa-basi Jon menyerang bapak bongkok tua itu. Dengan dua jurus si Jon terpental. Tak menyerah ia menyerang lagi tapi baru saja ia melayangkan tendangannya tahu-tahu ia sudah terpental ke tanah lagi.
“Okelah, oke oke, kau nomor satu. Aku mengakuinya kau hebat. Aku nomor duanya saja. Hah!”
Jon berdiri sambil memegang pinggangnya yang sakit. Belum sempat ia berdiri dengan tegak tiba-tiba berkelebat bapak buta bertongkat bambu mendarat persis di depan wajahnya. Jon kaget bukan main, entah dari langit mana pula turunnya pendekar ini. Selain buta bapak tua ini juga gempal, jadi tak mungkin fikirnya ia bisa terbang dan mendarat tepat di depan batang hidungnya.
“Jadi kau mau merebut nomor dua?” suara si buta berat, dan membuat Jon gemetar.
“Oke oke oke. Kau nomor dua. Akur? Aku nomor tiga aja, boleh?” Jon tersurut dua tombak dari si Buta, mundur perlahan. Tiba-tiba seorang bertubuh katai menghentikan langkahnya. Pendekar, pendek dan kekar. Tubuh kerdil itu pun melesat melompati tubuh Jon dan mendarat di bahunya.
“Jadi kau mau nomor tiganya punyaku?” Jon semakin gemetaran melihat kehebatan orang katai ini dengan mudah mendarat di atasnya.
“Oke oke oke. Kau nomor tiga! Puas!”
Orang katai itu turun dengan salto di udara dan mendaran dengan kedua tangannya. Jon semakin tersurut ke pinggiran dan bertemu lagi dengan kakek yang tadi menegurnya. Dengan ketakutan Jon tetap ingin tahu kehebatan si kakek.
“Kakek sendiri nomor berapa?” tanyanya.
“Aku disini nomor masih nomor dua lapan, bayi yang kemarin lahir tercatat sebagai nomor seratus tujuh puluh tiga.” Jawab si kakek tegas.
“Hah? Oke oke.” Jon ambil jurus langkah seribu, berlari tanpa melihat kebelakang lagi.
“Terserah kalian lah aku mau nomor berapaaaaaa...” sambil berlari Jon berteriak tak mau menyerah minta nomor bagiannya.
Setelah sepeminuman teh waktu berlalu, ia telah sampai di depan motornya, dinyalakan, dan melaju meninggalkan desa Jimbalang. Tancap gas sedalam-dalamnya tanpa menghindari kubangan dan lumpur, ia tak akan kembali lagi ke dusun tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar