Senin, 21 Maret 2011

(Hahay Story 002) Kita Ini Gila Bukan Bodoh

Seorang supir yang baru saja diterima bekerja di sebuah RS Jiwa local mendapat tugas menghantar beberapa professor yang mulai tidak waras lagi fikirannya. Dan juga beberapa orang gila yang suka berontak dan ada yang gilanya melukai orang lain. Rata-rata professor itu berumur lanjut tapi tetap saja dianggap gila, berbeda dengan orang gila lainnya yang masih muda-muda. Supir yang punya phobia terhadap orang gila maka sang supir sangatlah grogi dan sedikit getir, apalagi ini tugas pertamanya maka ia harus bisa menunjukan keseriusannya dalam melaksanakan tugas.
Dengan sedikit percaya diri yang tersisa supir baru ini mencoba tetap tegar menjalankan tugas. Ditemani seorang perawat ia mengajak professor-profesor itu masuk kedalam mobil minibus untuk dipindahkan ke RS Jiwa yang baru. Memang tidak mudah membujuk orang yang kurang waras untuk pindah ke tempat yang baru walaupun itu seorang professor dulunya. Dengan mudah membujuk ke lima professor itu berhasil dimasukkan ke dalam mobil tetapi tidak dengan ke empat orang gila lainnya ia harus berjibaku. Dan akhirnya keempat orang gila yang masih muda itu harus diikat dan disuntik obat penenang. Dengan sedikit mengeluh supir menyalakan mobilnya dan menjalankan mobil penuh kehati-hatian. Tetapi rasa grogi terus menghantuinya.
Setibanya di perbatasan kota mobil harus menyeberangi sebuah jembatan kayu tua. Jembatan yang berjarak lima belas meter itu menyeberangi sebuah sungai besar yang berarus deras. Nyali sang supir bertambah ciut, tangannya bergetar dan peluh dingin mengalir di sekujur tubuhnya. Kali ini cobaannya bertambah-tambah.  Jangan sampai mobil ini terjatuh ke dalam sungai dan ia harus menyelamatkan dirinya dan juga harus menyelamatkan penumpangnya, dalam hatinya ia berdoa semoga hal itu tidak terjadi lalu dilanjutkan dengan doa-doa lainnya. Kemudian ia mulai menjalankan mobilnya untuk menyeberang jembatan.
Baru saja sampai setengah jembatan tua ini mobil mulai terseok-seok dan melamban. Supir dengan jantung berdebar-debar menghentikan putaran roda lalu menengok keluar jendela ke arah belakang mobil. Aha ternyata ban belakang gembos, barangkali tertusuk paku dari jembatan kayu ini. Dengan menghela nafas panjang ia turun dari mobil dan menginjakkan kakinya di jembatan lalu disambut decit bunyi kayu tua yang sangat usang. Ia menelan ludah, dengan sangat berhati-hati ia berjalan di atas jembatan kayu tersebut takut-takut terinjak kayu yang lapuk dan jatuhlah ia ke dalam sungai. Lalu bernafas lega setelah yakin semua kayu yang ia pijak ternyata masih aman. Kemudian ia mengambil peralatan untuk membuka ban cadangan dan menggantikan ban yang telah gembos.
Sambil membuka baut dari ban yang gembos fikiran ngeres sang supir mulai mengganggu lagi. Kalau-kalau saja ke empat gilawan yang suka melukai orang lain itu sadar dari biusnya lalu mengamuk di atas jembatan ini mampuslah dia. Terbayang olehnya perawat itu disiksa, juga profesor-profesor itu berlarian dan terjun ke sungai. Lalu jantungnya mulai berdebar-debar lagi. Baut-baut yang telah ia cabut ia letakkan di atas kayu jembatan. Kemudian ia mendongkrak mengangkat mobil dan mencopot ban dari as. Tetapi saat ia mencopot ban tersebut ia juga menjatuhkan ke empat baut tadi ke dalam sungai. Wah wah, semakin berdebar jantungnya karena ketakutan. Bisa-bisa bermalam di atas jembatan tua karena hari mulai senja, dan tanpa penerangan lampu jalan, bahkan kampung terdekat saja jaraknya lima kilo dari jembatan ini.
Lalu ia kembali ke dalam mobil dengan wajah pucat dan menceritakan kejadian yang telah membuat takut kepada perawat. Profesor-profesor yang ikut mendengar cerita si supir kemudian berembuk. Beberapa detik kemudian mereka mengambil kesimpulan dan menemukan solusi penyelesaian masalah si supir. “Dengan mencabut satu baut dari setiap ban yang tidak gembos maka akan didapat tiga buah baut untuk dipasang di ban cadangan yang menggantikan ban gembos. Jadi setiap ban hanya mendapat tiga baut, tetapi asalkan bisa jalan maka kita tidak harus bermalam di atas jembatan ini.” Begitu menurut professor berkacamata mewakili professor lainnya. Sang supir berfikir sejenak kemudian mengangguk-angguk tanda mengerti. Semua hayalan dan rasa takut sang supir karena harus bermalam di sini segera sirna kemudian ia tersenyum lega.
Sejenak akan turun dari mobil terfikir olehnya, kenapa professor-profesor yang dianggap gila ini bisa berfikir waras.
Lalu ia bertanya kepada ke lima professor tua-tua tersebut, “Ngomong-ngomong, bapak-bapak tua ini kenapa bisa berfikir cepat? Bukankah kalian ini masih dianggap kurang waras?”
Kemudian professor yang berkacamata tadi menjawab cepat, “Bung! Kita ini gila bukan bodoh seperti anda!” Dengan menganga sang supir terpaku mendengar jawaban professor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar