Selasa, 22 Maret 2011

Misionaris Dalam Program Ka Beh (Keluarga Besar)


Tak banyak orang tahu bahwa di setiap keluarga yang memiliki jumlah anak yang banyak akan selalunya berakhir tragis atau tidak happy ending. Buat ku istilah ceritanya keluarga tersebut akan berakhir porak poranda. Jika dalam keluarga yang memiliki ibu lebih dari satu dan tiap ibu memiliki jumlah anak yang banyak, atau seorang ibu dengan anak banyak tanpa ayah, atau sebaliknya ayah dengan anak banyak tanpa ibu, nah itu jelas akan berakhir complicated. Walau pun ada, jumlahnya sedikit sekali yang berhasil.
Atau keluarga miskin tetapi kaya anak, itu juga mungkin sulit untuk diceritakan sebagai cerita indah sebuah keluarga. Aku juga berasal dari keluarga yang besar tetapi berusaha mengindahkan keluargaku dengan cara yang indah, sekalipun kadang aku yang saat itu masih kecil tak mengerti sepenuhnya arti keluarga besar dalam arti sebenarnya. Banyak penghuninya banyak kebutuhannya.
Menghabiskan waktu sebagai tukang becak beranak sebelas, membuat aku menggeleng-gelengkan kepala. Tetangga ku satu ini bukan saja membuat ku kagum tapi sekaligus terheran-heran. Anaknya paling tua seorang perempuan dan baru tamat SMA, syukur sudah bisa kerja di sebuah mini market. Yang membuat aku kagum adalah apakah dirumah ia tidak punya tv sehingga hiburannya hanya itu. Yang membuat aku terheran-heran adalah ia sanggup menyerahkan seluruh masa depan anaknya pada penduduk sekitarnya untuk membiayai sekolah. Sekarang ia telah almarhum, walau pun aku percaya bahwa Tuhan tidak akan menelantarkan anak-anaknya, tetapi menyerahkan pada orang yang salah juga akan bermasalah.
Tak selamanya indah itu bisa dikecap, sebagai bahtera yang diisi sesak penumpang, tentunya kapal ini akan menghadapi karang sandungan dan ombak penghalang. Bukan hanya terjadi pada keluarga besar tapi juga pada keluarga yang pas-pasan, “pas ada dan pas makan, gak lebih.” Semua punya cerita masing-masing yang bila sudah tua ditangisi oleh sang anak sebagai orang menelantarkannya, atau menuduhnya tidak becus. Saling menyakiti. Anak yang tidak melihat perjuangan orangtuanya dan sebaliknya ibu-bapaknya belum sempat menceritakan perjuangannya keburu mati.
Juga hal itu dapat terjadi pada semua orangtua yang tamatan UDAYANA. “Udah yah nak, sekolahnya sampe disini aja. Udah yah nak, kamu kawin aja. Udah yah nak, gak usah sekolah gantiin bapak. Udah yah nak, bapak aja cuma tamat SR. Udah yah nak. Udah yah nak. Udah yah nak.” Tanpa spirit menokohi, memberi panutan, menyerahkan penuh pada do’a-do’a tanpa usaha.
Ada pun tangis haru saat mendapatkan seorang bayi yang harus menemaninya mengemis, hanya untuk mengundang iba, sedang tidak berminat menangis bayi itu pun dicubit pantatnya (bisa jadi bayi sewaan), perangkat lunak. Awalnya memang iba tetapi lama kelamaan imun. Banyak anak banyak uang, bisa dimanfaatkan toh. Potret kota, dengan undang-undang perlindungan anak, dengan hukum perlindungan fakir miskin, dengan jumlah aparat hukum dan undang-undung tersebut bertambah tiap tahunnya, dengan penduduk yang imun dan individualisme, program KaBeh ini berhasil.
Antara aku dan orangtuaku tak sepenuhnya cerita beliau-beliau itu aku dengar langsung dari mulutnya. Ada yang aku cari dari sana-sini, agar aku mengerti mengapa aku terlahir sebagai anak ke sekian, siapa mereka, dan penokohan apa yang aku dapat dari amal baik mereka, perjuangan mereka, ilmu yang mereka wariskan. Aku tidak menuduhnya tapi coba menerimanya saja bahwa mereka yakin bisa membesarkan aku walau kondisi saat itu sangat memungkinkan. Tetapi buat orangtua sekarang, hambatan, sandungan dan cobaannya jauh lebih menantang dari jaman orangtuaku dulu, alangkah baiknya penuh perencanaan. Dari TK sampai SMA saja, orangtua sudah menghabiskan umur 15 tahun untuk satu anak, belum untuk kuliah 4 tahun, pernikahannya dan lain-lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar