Senin, 21 Maret 2011

(Hahay Story 021) KAKEK JUJUR



Kisah sedih di hari minggu yang selalu mengikat ku. Di suatu desa pingiran kota, paling pinggir, terdapat kehidupan sepasang kakek nenek yang hidup jauh dibawah garis kaya. Sosok rumah bertipekan river side, tepatnya rumah bersebelahan kali, tidak memiliki IMB. Pintu masuk dan keluar satu-satunya, masuk ke dalam langsung ke kamar tidur, ruang tamu, dapur, jadi satu. Jendela satu-satunya, langsung menghadap pemandangan kali. Lantai beralaskan semen, beratapkan terpal dan berdinding triplek 2 mili. Kehidupan ekologi yang terdekat bukan tetangga manusia tetapi kali butek dan batang-batang pisang. MCK disana, all in one, tumplek semua dikali. Baik cuci baju sampai cuci perabotan rumah. Ada satu warisan yang langka yaitu WC Helikopter, bentuknya mirip Helikopter tapi tanpa baling-baling, apa yang anda buang dapat disaksikan kepergiannya hanyut bersama ikan Sapu-sapu. Tahi, yang diam-diam hanyut telah memberi kisah. 
Berpenghasilan sebagai seorang penggarap tanah, sepanjang pinggiran kali ditanami apa saja, kakek bermodalkan sebuah cangkul dan semangat untuk keluar dari kemiskinan, tapi apa latah usaha kakek sepertinya akan kalah angka oleh usianya yang uzur. Diatas kertas semangat itu perlu, seperti motivator koar-koarkan pentingnya semangat, begitu juga kakek berjuang demi istrinya sahabat sepanjang hidupnya. Semangat kakek yang entah bisa digugu dan ditiru, entah juga tidak sama sekali, yang penting semangat saja dulu biarkan alam yang menentukan hasilnya. Bersenandung sebuah lagu lawas karya NN. “Cangkul, cangkul, cangkul yang dalam,” menanam asa dari tanah air di negeri tercinta. Mencangkul dan menanam tanah tak bertuan sepanjang sisi kali, ditanami dengan singkong, kangkung, dan bayam. Lalu disirami tumbuhan tersebut dengan air kali yang sudah tidak lagi jernih terkontaminasi bakteri mikoli.
Setiap harinya rutinitas ini dilakukan sampai suatu saat kakek berangkat kesiangan. Karena sakit encok komplikasi penyakit kulit, nyeri-nyeri plus gatal-gatal, adalah kombinasi yang pas bisa membuat kakek terjaga semalaman menahan nyeri sambil garuk-garuk.  Dengan mata masih sepat dan kelopak mata yang sukar terbelalak lagi karena kerutan muka melebihi jumlah jari tangan dan kakinya. Bahkan jumlah kerutannya mengalahkan jumlah rambutnya yang mulai rontok karena sampo palsu. Hanya semangatlah yang bisa membuat kakek bangkit dari tidurnya yang baru sejam. Bangun dari alas kardus bekas kulkas tulang-tulang kakek bergemeretak. Dengkul kaki bergetar hebat, tangan menggapai cangkul, kakek berangkat tanpa sarapan kopi. Berbekal air putih dengan botol air kemasan kakek melanjutkan satu hari lagi dengan menanam singkong atau umbi.
Hari ini hari yang panas tidak seperti biasanya, karena sudah siang kakek baru saja tiba di tanah yang siap digarap. Selalu memulai sesuatu dengan berpamitan pada sang Pencipta dan alam, lalu berdoa pendek buat dirinya dan nenek. Kakek mengayunkan cangkulnya, cangkulan pertama pada tanah yang lembab membuat cangkul terasa berat, cangkulan kedua dan seterusnya berjalan berat. Lama kelaman mata cangkulnya copot dan melayang ke tengah kali butek. Dengan kedua tangan gemetar kakek menangisi nasib karena tak sanggup menyelam tuk mengambil mata cangkul yang baru dua hari lalu diasah. Kakek terduduk di atas tanah garapan dengan sedih tiada terkira.
Tiba-tiba air butek kali mengeluarkan gelembung busa-busa, tepat dimana mata cangkul itu terjatuh. Lalu dari dalamnya seorang peri cantik keluar dari busa-busa tersebut. Dengan tersenyum penuh peri menyapa si kakek.
“Hai kakek,”sapanya.
“Hai juga,” jawab si kakek.
“Gerangan apa yang membuatmu bermuram durja.” Sambil tersenyum peri bertanya. Dalam hati kakek ngedumel, “sudah tahu kok masih nanya.” Kakek tidak dapat lagi menahan galau hatinya.
“Mata cangkul ku jatuh tepat di bawah peri berdiri. Itu adalah mata cangkul ku satu-satunya untuk mencari nafkah. Hiks, huh hu.” Curhat kakek terdengar menyentuh perasaan peri. Dengan sekelebat si peri masuk kembali ke dalam kali, lalu peri keluar lagi sambil membawa mata cangkul terbuat dari emas berkilau.
“Kek, ini aku bawakan mata cangkul buatmu.”
Kakek terkejut bukan kepalang, “Ah itu bukan punyaku, mata cangkul punyaku bukan terbuat dari emas.”
Sekejap kemudian peri masuk ke dalam kali tersebut lagi dan keluar membawa mata cangkul dari perak, putihnya sangat menyilaukan mata. “Apakah yang ini punyamu kek?”
Kakek menggelengkan kepala penuh keyakinan, “Punyaku sudah jelek dan kotor, yang itu terlalu bersih dan mengkilap.”
Sang peri tertegun dengan kejujuran si kakek. Lalu peri masuk lagi ke dalam kali dan sekali ini benar-benar membawa mata cangkul yang jelek dan kotor milik kakek. “Apakah ini yang kau maksudkan kek?”
“Ya. Ya. Benar itu milikku.”
“Baiklah kek ambillah mata cangkul ini beserta mata cangkul dari emas dan perak ini sebagai hadiah karena kejujuranmu.” Ujar sang peri dengan senyujm hangatnya yang khas peri, penuh rupawan.
Mendengar hal itu kakek girang sekali. Wajahnya sumringah terlalu senang. Dalam hatinya terayang wajah nenek yang sangat dicintainya pasti gembira menerima berita gembira ini. Sangat senangnya kakek sehingga guratan wajahnya mengurangi jumlah kerut-kerutannya.
“Terimakasih peri yang cantik.” Setelah bersyukur dan mengucapkan selamat tinggal kepada peri beliau bergegas pulang.
Setibanya di rumah kakek menceritakannya pada nenek. Dengan emas dan perak sebesar mata cangkul itu pastinya mereka bisa membeli kelengkapan hidup, paling tidak bisa membeli sebuah TV untuk menemani nenek. Dan buat beli sembako, sisanya beli rumah baru. Alangkah gembiranya nenek dan kakek ini. Hari itu juga mereka bersiap-siap pergi ke pasar terdekat untuk menjual emas dan perak tersebut. Dengan bermaksud untuk menggembirakan sang istri, kakek tak mau menunda-nunda mengakhiri kemiskinannya.
Untuk menuju pasar kakek nenek ini harus menyeberangi kali agar bisa sampai disana. Dengan sebuah getek dari bambu yang kakek buat sendiri, mereka menyeberangi kali, dengan penuh semangat kakeh mengayuh. Nenek yang juga tak kalah gembiranya berdiri diatas getek sambil memeluk erat emas dan perak tersebut. “Nek sebaiknya emas dan perak itu kau letakkan di bawah saja nanti kamu keberatan menggendong keduanya.” Si kakek memerintahkan nenek untuk meletakkannya diatas getek dan nenek menurut saja. Setelah ia menaruhnya tiba-tiba nenek kehilangan keseimbangannya dan terjatuh kedalam kali. Byuur.
Kakek hanya terpaku tak dapat berbuat apapun. Melihat sang istri tenggelam si kakek kembali sedih bukan kepalang. Menangis sesegukan diatas getek miliknya menangisi kepergian istrinya. Tak dinyana sang peri tadi muncul kembali dari dalam kali tersebut. Wajah kakek terkejut sekali lagi bertemu dengan peri tersebut.
“Ya. Ya, aku tahu kenapa kamu bersedih.” Kali ini peri jauh lebih serius. Tetapi kakek tidak merespon dan tetap meneruskan kesedihannya.
“Tenanglah kek jangan bersedih, aku akan menolongmu.” Tanpa basa basi lagi peri langsung masuk kedalam kali butek tersebut dan keluar lagi dengan membawa wanita cantik, muda, dan dia adalah Luna Maya. Wajah kakek sumringah kegirangan bukan kepalang.
“Apakah ini istrimu?” sang peri bertanya. Dan alangkah terkejutnya sang peri melihat kakek mengangguk cepat menyetujui.
“Ah kau kakek yang pendusta. Ini bukan istrimu. Istrimu jelek, tua, keriput dan bau tanah. Alangkah teganya kau membohongi istrimu.” Sang peri tampak murka menerima jawaban kakek.
Dengan suara yang parau si kakek menjawab murka sang peri.
“Bukan aku berdusta. Aku hanya menyetujuinya saja. Karena kalau aku bilang itu bukan istriku sang peri akan masuk kedalam lagi dan membawa Aura Kasih. Satu wanita cantik lagi, dan aku mengatakan bukan, itu bukan istriku. Kemudian peri masuk lagi dan mengambil istriku yang sebenarnya. Lalu ketiganya akan aku bawa pulang.”
Dengan berdiri kakek menghampiri sang peri.
“Coba sang peri bayangkan, satu istri saja aku tak sanggup menafkahinya, rumahku gubuk, kerjaanku cuma tukang cangkul. Dan emas dan perak yang kau beri tak akan sanggup untuk menghidupi satu istri apa lagi kalau ditambah dua istri lagi!”
Sang peri terdiam dengan wajah keheranan.

Ahay!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar