Senin, 21 Maret 2011

Ruang Pulik


Berapa banyak ruang publik yang tidak lagi nyaman untuk dipakai bersama? Seperti terminal, wc, halte, tempat parkir, bahkan ruang tunggu. Kecuali ruang tunggu di dalam kantoran atau wc umum di gedung bertingkat yang terrawat baik. Buat kota Jakarta, jembatan penyeberangan saja mulai langka, kalau ada pun sudah di penuhi PKL, asongan, dan pengemis. Kalau pun ada jembatan penyeberangan orang memilih menyeberang di bawah jembatannya tersebut dari pada mesti mendaki anak-anak tangga yang terlalu tinggi, katanya.
Banyak ruang publik yang tidak lagi nyaman ini sepertinya tidak menggangu orang-orang pegunanya. Halte saja kadang di pakai untuk tempat tidur gepeng, karena bis-bis dan angkot memilih berhenti jauh sebelum halte tersebut. Area terlarang untuk merokok pun terkadang diacuhkan. Dilarang menggunakan handphone di area pompa bensin pun banyak yang melanggar, padahal larangan dan gambar-gambar yang melarang sudah terpampang jelas.
Itu untuk aturan yang tertulis maupun aturan main bersama  yang tidak tertulis, banyak yang tidak mau mengindahkannya, apalagi kalau perihal yang sudah menyangkut publik, orang banyak, kaum mayoritas/minoritas, atau kelompok wong cilik. Semua mengatasnamakan kepentingan publik, padahal kepentingan pribadi dan golongan lah yang bergerak lebih dahulu. Begitu juga orang yang mengatasnamakan partai, organisasi, federasi, atau apalah, kalau sudah menyangkut keuntungan dan duit pasti anda dapati sebuah anggaran tanpa laporan dan hak tanpa kewajiban.
Untuk hal itu sekarang sudah masuk ke ruang publik. Banyak yang menggalang masa dan bahkan orang bayaran untuk melancarkan kepentingan. Bahkan petinggi negara ini sudah tidak malu-malu memelintirkan hukum demi kepentingan pribadinya atau golongan. Menggunakan media elektronik baik itu tv, radio atau koran, terang-terangan keberpihakan orang tertentu terhadap partai atau golongan tertentu diumbar dalamnya. Baik dengan cara sarkasme atau mencela sekalian. Yang lebih ngeri lagi ada gertakan, ancaman, atau penyerangan dengan menggunakan bahasa inetelektualnya intervensi. Merasa satu sama lainnya berdiri diatas kebenaran partai dan golongan. Sedangkan hal itu terjadi di ruang publik dan publik sendiri tidak bisa melakukan apa-apa.
Ruang publik itu seyogyanya adalah milik publik dan demi kepentingan publik. Bahkan curhat petinggi Negara ini pun dilakukan di ruang publik ini. Semakin banyaknya kerancuan ini maka publik akan sulit membedakan lagi mana yang benar. Kenetralan media sudah dipertanyakan, apalagi kenetralan penegak hukum, lalu bagaimana dengan wakil rakyat yang terpilih sebagai wakil publik apakah masih mewakili. Media yang terkadang melakukan salah pun terkadang tidak meminta maaf kepada publik, apalagi kalau itu pejabat Negara, baik itu dewan atau kepemerintahan.
Apakah publik sudah memiliki ruang publiknya? “Belum! Maksud saya, saya belum tau,” bagaimana saya tahu, daerahnya memang sengaja dibuat abu-abu, tidak hitam dan putih. Semakin tidak adanya ketegasan publik maka ruang publik masih dijajah oleh orang yang berlindung pada kelompok-kelompok tertentu, bahkan badan hokum tertentu. Jaringan sejuta Facebook sudah tidak ampuh lagi, maka saya menunggu kekuatan baru seperti dulu saat mendukung Prita, yaitu ada kesamaan perasaan sesama orang yang tertindas lalu merebut hati orang yang menindas untuk berfikir ulang tentang adanya kekuatan publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar