Senin, 21 Maret 2011

Ruang Ganti



Berapa banyak anda sanggup mendengarkan dan mematuhi semua anjuran atau perintah dari orang lain, termasuk atasan anda, atau atasnya lagi, paling atas. Pengalaman aku dengan dua orang ini memang berbeda sudut pandang aku menerimanya. Boss yang satu ini menghendaki aku terus menerus bekerja dengannya bahkan sampai di rumah pun aku harus tetap bekerja, kalau dibayar sih okay tapi ini tidak. Perintah atau anjurannya, “Kalau bisa apa yang akan kamu lakukan itu sudah kamu rancang dan letakkan di bawah bantal kamu agar besok....” begitu sih katanya. Gila aja! Sementara ia bisa tidur enak dan sabtu minggu jalan-jalan ke sing ngapur sing ngecet.
Kalau boss yang satu ini lebih aneh lagi, berfilosofi kerja bak lampu trafict light. Kalau lampu hijau berarti gas kendaraan normal saja karena belum sempat menginjak rem. Kalau lampu kuning bergegaslah menyalip dan tekan gas sebelum lampu menjadi merah dan menginjak rem anda. Kalau lampu merah, berarti injak gas dalam-dalam sedari jauh sebelum lampu benar-benar merah atau polisi yang menghentikannya. Gila aja! Entah filsuf mana yang mengajarkan itu selain dari dirinya sendiri. Kayaknya sih beliau bekas supir patas AKAP (antar kota antar propinsi). Tapi giliran kerjanya sendiri sukanya mepet-mepet waktu, kalau benar-benar kepepet diserahkan kepada kita, sementara dia asyik dengan mainannya.
Benar-benar pendidikan plonco, ospek, atau sejenisnya, bahwa hanya ada dua pasal yang berlaku antara senior dan boss dengan anak kacung. Pasal pertama, boss dan senior tidak pernah salah. Kedua, jika pun ada dan terjadi kesalahan kembali ke pasal pertama. Untuk itu sebagai anak buah bekerja keraslah untuk memperbaiki kesalahan senior dan boss anda.
Suatu waktu aku tengah santai di rumah kebetulan ada tv, kebetulan aku menonton sebuah acara pertandingan antara manusia dengan hewan. Yaitu pertandingan adu kekuatan manusia, pertama adu memanjat melawan seekor simpanse, adu berlari dengan seekor unta dan adu menarik pesawat dengan seekor gajah. Aku terpana menyaksikannya. Pertandingan pertama dimenangkan oleh manusia, simpanse kalah cepat memanjat sebatang kayu yang ditancapkan ke tanah. Pertandingan kedua di menangkan manusia, unta ternyata kalah cepat lari 200 meter melawan 4 orang katai yang berlari estafet. Pertandingan ketiga, final, siapakah menurut anda yang memenanginya, ya benar, gajah memenangi pertandingan menarik pesawat sejauh satu meter melawan 25 orang katai.
Keseluruhan pertandingan memang dimenangi hewan, tetapi yang menarik perhatian aku bukanlah pertandingan itu. Melainkan ambisi dari manusia untuk mengalahkan hewan-hewan itu. Sementara saat pertandingan pertama lomba memanjat sebatang kayu, simpanse yang melakukan start yang baik berhasil mendahului manusia tetapi di tengah-tengah ia berhenti sejenak untuk melihat ke bawah memperhatikan tuannya. Lalu tuannya mengarahkan agar simpanse meneruskan pertandingan, akhirnya ia kalah.
Pertandingan kedua antara unta dan manusia, harus dilakukan sampai tiga atau empat kali, aku lupa berapa kali tepatnya. Hal itu dikarenakan unta tidak mau berlari, ngambek, sampai dicambuk dan diseret-seret. Walau akhirnya pertandingan itu dimenangi unta. Tetapi tetap saja sang unta tidak mau berlari tanpa ada maksud dan tujuannya untuk apa ia berlari. Atau mungkin karena tanpa joki yang mengarahkannya ia memilih ngambek dan duduk di pinggir arena.
Sementara pertandingan ketiga jauh lebih mulus karena gajah lebih penurut dibanding kedua hewan sebelumnya. Sebelum bertanding gajah hanya diumpan makanan dan tuannya membisikkan kata-kata ajaib ditelinganya. Kemudian tuannya hanya mengarahkan dari depannya. Dan pertandingan final ini dimenangi gajah, juga keseluruhan pertandingan dimenangi sang hewan.
Hewan-hewan itu semua tak memiliki ambisi untuk memenangi pentandingan apa pun, tidak demikian dengan manusia yang sebagai lawan tandingnya, merasa ini adalah prestise dan prestasi. Aku terheran-heran melihat simpanse yang menunggu ekspresi wajah tuannya, aku tertawa melihat unta ngambek tak mau berlari tanpa ada joki, dan aku terkagum melihat gajah tanpa cambuk dapat melaksanakan tugas dengan lugas. Sementara manusia hanya ingin berprestasi mengalahkan lawan yang tak bermaksud melawan.
Berbeda dengan dua mantan boss saya itu (karena mantanlah aku berani membicarkannya, ahay!!), ingin berprestise tapi dengan mencambuk filsafat yang menguntungkannya, mengeksploitasi dengan cara halus, menguras isi kepala anda, bahkan membisikkan ke telinga anda bahwa anda akan di bayar mahal. Sementara anda masih menganggap bahwa tujuan anda untuk berprestasi.
Keesokan harinya aku menyaksikan pertandingan sepakbola antara dua klub eropa. Tuan rumah mulai tertinggal 3-1, dengan mudah tamu menyarangkan bola ke gawang tuan rumah tiga kali berturut-turut. Entah bagaimana awal babak kedua, tamu yang bertandang salah satu striker dikenakan kartu merah, walhasil 10 lawan 11 orang. Tuan rumah yang mendapatkan angin sanggup menyamakan skor walau dengan susah payah. Waktu akan berakhir, masa injuri tinggal beberapa detik lagi, tiba-tiba priiiiiit. Sebuah tendangan pinalti buat tuan rumah. Dan tidak menyia-nyiakan kesempatan perlawanan tamu berakhir dengan kekalahan di detik-detik terakhir melalui tendangan pinalti, gooooaaaal.
Di ruang ganti, manusia-manusia yang bertanding mengangkat nama fair play dan menjunjung tinggi sportifitas, yang kalah memaki-maki wasit dan yang menang bersulang. Aku berfikir bahwa ini pertandingan penuh drama. Bagaimana tidak, tuan rumah yang aku prediksi bakal kebobolan lebih banyak lagi malah membalikan keadaan. Benar-benar drama. Pasti ada sutradaranya! Ahay. Semua berakhir hanya sampai di ruang ganti, begitulah sportifitas tanpa atau dengan sutradara.
“Boss. Kapan sih aku diajak ke sing ngapur atau sing ngecet?” aku bertanya dengan mata berkedip-kedip.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar