Kamis, 24 Maret 2011

(Hahay Story 024) Baim - Misionaris Dalam Keluarga Besar (2)

Syarip hari itu baru saja mau pulang dari pasar. Kuli panggul, masih bujangan, taat beribadah. Sambil bersenandung baru terima gaji. Di tengah perjalanan di sebuah tanah lapang, lalu ia melihat seekor burung yang patah sayapnya tergeletak di tanah. Syarip duduk tak jauh dari burung tersebut dan memperhatikannya dengan sembunyi-sembunyi. Ia bertanya dalam hatinya, “dari mana burung itu dapat makan?”
Tak lama kemudian, dilihat olehnya seekor burung lainnya mendekati dengan membawa belalang di paruhnya. Belalang itu diletakkan di paruh burung yang sayapnya patah. Syarip mengucap takzup, “sesungguhnya Dzat yang mampu mendirikan burung itu pasti mampu memberikan rezeki kepadaku di mana pun aku berada.”
Kemudian Syarip meninggalkan usahanya dan menenggelamkan diri dalam ibadah. Setelah lama sahabatnya Baim merasa kehilangan Syarip. Dengan perasaan heran dan was-was mengapa Syarip tak jua kunjung muncul di pasar tempat biasanya ia berusaha. Setelah tiga hari Syarip tak kunjung menampakkan batang hidungnya maka Baim berniat menjenguknya.
Sesampainya di gubuk Syarip, di sana Baim menemukan Syarip tengah khusyuk beribadah. Disapanya dan mereka duduk bersela di atas tikar berbincang-bincang. Lalu Syarip menceritakan pengalamannya. Dengan terkejut Baim balik bertanya, “kenapa engkau tidak menjadi burung yang memberi makan burung yang sakit itu?” Alangkah terkejutnya Syarip menerima pertanyaan itu. Dengan mata terbelalak dan fikirannya bergerak berputar.
“Tentu keadaan engkau lebih utama! Tangan di atas lebih baik ketimbang tangan yang di bawah,” Baim menjelaskan. Lalu Syarip memegang dan menyalami tangan Baim. Baim adalah bapak dengan delapan anak, belum lagi tiga sepupu yang telah yatim piatu tinggal menumpang di rumahnya. Seisi rumah riuh oleh anak-anaknya dan keributan sepupunya. Tetapi Baim tetap teguh dalam usahanya mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
 Ahay!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar