Senin, 21 Maret 2011

Reflection


Tuhan selalu punya cara untuk menyampaikan tegurannya pada makhluk hidup yang berfikir, yang memohon petunjuk, yang berdoa dibukakan jalan, yang bersemedi dan sembahyang dengan cara yang berbeda-beda dengan maksud mendapatkan jawab semua tanya. Bahkan ada yang jauh-jauh berangkat ke tanah suci, ada yang bersemedi di tempat sunyi dan pengap, atau pergi ke dokter psykologis, atau curcol (curhat colongan), bahkan bertafakur di tengah malam gelap hingga pagi senyap.
Aku sangat bersyukur sekali karena aku tidak bersusah payah melakukan itu semua, datanglah padaku seorang sahabat sekaligus murid dan guru seperjalanan sepanjang hidup membujang dulu. Sewaktu mendalami ilmu di bangku kuliah aku sangat senang berdebat kusir dengan teman-teman yang berkunjung ke kamar tidurku yang sempit dan sesak berukuran dua kali tiga meter. Disanalah terlahir perdebatan sengit tentang apa saja, pelajaran mata kuliah, pemerintah yang kaku, pacar teman, cewek sebelah rumah yang putih molek, apa sajalah.
Kamar yang sesak itu berisi koran Singgalang langganan, buku-buku bacaan ringan dari komik sampai bacaan agama untuk makanan rohani, sebuah radio kecil yang terkadang bisa dibawa kemana saja, aku belum punya hape, sebuah kasur tanpa ranjang, sebuah lemari pelastik, dan sebuah gitar jelek tapi sanggup menghibur. Anehnya kamar ini selalu saja penuh, dan yang menyebalkan adalah aku tidak kebagian tempat untuk merebahkan badan dan tidur.
Dari semua jenis umat yang datang ke kamar ini, dari yang berbeda agama, etnis, jenis pekerjaan, sampai beda umur sekalipun, kecuali anak-anak SD. Kami dengan senang hati mengajarkan matematika dan fisika kepada anak-anak tetangga yang mau bertanya pada kami. Juga terkadang berbagi ilmu tentang hal apa saja selama itu bisa kami bagi. Berujung pada seorang sahabat yang ternyata sangat mengiyakan apa saja yang aku bawa, dari bahan bacaan, buku-buku, sampai pada gaya bahasa yang aku pakai. Sobatku yang satu ini tak kusangka ternyata sampai saat ini memegang teguh apa yang telah kami bahas, kami saling berbagi dan apa saja yang ia baca dari bacaan dan buku yang ada di kamarku itu.
Bertemulah kami kembali setelah sekian lama berpisah karena urusan masing-masing. Berkat rasa rindu dan kenangan masa itu, aku mengabulkan keinginan hati untuk bertemu. Memang umur telah membuat kami berbeda wujud, menua tepatnya, kalau aku uban tumbuh disela-sela rambut hitam sedangkan dia rambut hitamnya tumbuh disela-sela uban. Kalau wajah, kami masih tetap imut-imut, itu menurut kami. Tapi semua itu tak mengurangi sedikitpun rasa kangen-kangenan. Dia menginap di sebuah apartemen milik bosnya, di depan pintu masuk apartemen berdiri sobat lamaku dengan senyum dikulum, persis kakek-kakek.
Setelah itu kami makan malam di resperto (restaurant emper toko) dengan menu utamanya pele (pecel lele). Bersama membicarakan si A, si B, si C, kawan-kawan lain yang menjalani nasibnya masing-masing. Setelah kenyang kembali ke apartemen dan mulailah “pembicaraan antara aku dan dia” terjadi. Dari masalah keluarga kami masing-masing sampai kembali ke masa itu. Mulailah rasa tidak enak itu muncul kepermukaan hatiku, yaitu menceritakan tentang diriku melalui olah fikirannya sobatku ini. Dia seperti mengenal sisi lainku yang aku sendiri hampir melupakannya. Bukan aku lupa tapi aku melupakannya.
Seperti sebuah teguran lembut Tuhan padaku, bagaimana aku bisa melupakannya? Ahhh, tentu karena aku terlalu hanyut dan ikut arus deras perubahan, karena gesekan-gesekan lingkungan baru yang membuat aku meninggalkan idealism-idealime sewaktu kuliah dulu. Seperti mengendarai sepeda motor di keramaian dan macet jalan-jalan raya Jakarta, dengan CC motorku yang lebih besar dari motor lain membuat aku merasa bisa bergerak lebih cepat. Sementara aku berusaha sabar dan taat aturan tetapi lama-kelamaan aku terbawa arus kendaraan lain yang saling menyalip dan melupakan aturan hukum. Tetapi seperti memiliki aturan main tersendiri antara sesama pengendara dan itu sah-sah saja.
Wow! Aku terkejut menerima sentuhan lembut ini. Ini bukan teguran tetapi refleksi, sebuah bayangan diriku ada di dalam sebuah cermin yang sahabatku bawa dari kampungnya.
Dahulu aku sadari aku melarang orang mencuri dan mengajarkan kesabaran, sekarang aku suka mencuri jalan orang dan tidak sabaran. Dahulu aku meminjamkan buku berisi ajaran-ajaran, sekarang isi buku itu dibuka kembali melalui mulut sahabatku ini, satu per satu, bab per bab, yang aku sendiri melupakannya bahwa akulah yang membeli buku itu, meminjamkannya padanya, bahkan membahas isinya dengan sahabatku ini. Lalu ia mengamalkannya dalam kehidupan di kampungnya sementara aku tergilas dengan aturan main di nagari ini. Betapa teguran ini aku terima secara bulat-bulat, memang aku benar telah tergerus.
Setelah itu terbuka teguran-teguran lain dari sahabat, murid dan sekaligus guru seperjalananku ini, bahwa aku kehilangan bagian diriku yang dulu aku suka. Bahwa aku juga dulu telah saling membukakan pustaka kebaikan yang sampai saat ini belum aku lakukan tapi telah ia syiarkan, hal ini membuatku sangat malu.
Aku malu pada pencerahan beberapa hari ini. Lebih dari berminggu-minggu ini semua seperti tabungan amal yang kembali, seperti tahu isi tahu, seperti apa yang telah aku beri kepada orang lain dan itu kembali lagi padaku, seperti itulah aku menggambarkan. Dulu aku pernah menerima kembali materi yang ku beri. Ini bukan hanya materi, bukan amal budi, tetapi ini nasehatku dan ini sebuah ilmu pengetahuan yang dulu aku beri, sekarang nasehat itu kembali kepadaku dan pengetahuan itu menegurku. Semoga kau tahu bagaimana perasaanku saat itu.
Ada beberapa kejadian sebelum ini yang membuatku bertanya-tanya, mengapa aku harus mencermatinya. Masalah harga diri atau pintar-bodoh? Seorang tamatan sekolah tinggi menghardik dengan kata bodoh pada saudara dan sahabatnya hanya karena ia hanya tamatan sekolah menengah dan melakukan kesalahan kecil. Lalu aku ada disitu, aku tidak bisa membedakan yang mana yang sebenarnya orang bodoh. Atau seorang yang pulang dari Haji, kata orang apapun yang kau minta dan yang kau sembunyikan akan dibukakan dan disibak disana. Lalu ia menceritakan saudara dan sahabatnya sendiri dengan penuh dendam dan penghinaan, aku mendengarkan dengan bertanya dalam hati siapa yang sebenarnya hina. Dan sekarang aku menghadapi teguran ini, dan aku menyadari sepenuhnya bahwa aku sebelumnya telah mendapat teguran pemanasan (warming up), sekarang hanya tinggal kesadarannya.
Artinya aku diharuskan agar tidak bodoh dan membodohi diri sendiri, agar aku menerima  kritikan seperti menerima sentuhan lembut usap tangan ibuku atau istriku, agar aku menela’ah diskripsi Tuhan tentang perlakuan salah sangka. Tuhan memberikan gambaran bahwa diri ini telah hampir melenceng dari arah kebaikan ke arah mudarat (tidak baik) dengan cara memperlihatkan kejadian sebelumnya dan berurut sampai kejadian saat ini. Aku dikehendakiNya untuk sadar secara perlahan, dengan mengembalikan semua yang pernah aku bagikan pada teman, sahabat dan saudara-saudaraku. Semua telah kembali, tabungan amal telah dipulangkan, aku harus kembali ke titik performa amal ibadahku.  
Refleksi ini adalah kejadian-kejadian kecil yang tak semua aku bisa sampaikan, hanya mengambil beberapa kejadian saja. Karena setelah teguran ini aku kembali berfikir bahwa hari ini adalah perayaan tahun baru, aku harus meresolusikan semua keinginan bathinku. Aku harus lebih menghargai orang lain dengan cara aku sadari bahwa kebodohan orang lain bukan datang dari orang tersebut tetapi datang dari kita sendiri yang sudah tahu tapi tidak memberitahukannya. Bukankah kata aulia pandai pernah mengatakan bahwa beritakanlah sebuah kebaikan walaupun itu hanya satu bait kata.
Refleksi ini juga cerminan betapa rapuhnya hati jika terus-menerus tergerus oleh godaan jaman, jalan, dan lingkungannya. Bagaimana aku menasehati orang lain untuk sabar sedangkan aku sendiri tidak sabar. Bagaimana aku mengajari pengetahuan sedangkan aku tidak tahu. Bagaimana aku menyadari orang lain sedangkan aku tidak sadar-sadar. Aku tahu ini bukan tamparan buatku, ini hanyalah sebuah usapan lembut Tuhan seperti usapan kekasih, ibu atau istri. 
Begitu aku pulang ke rumah, melihat istriku kembali, aku seperti melihat kebaikan Tuhan itu pulang terlebih dahulu sebelum aku sampai ke rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar