Selasa, 22 Maret 2011

Chapter 13 Thanks to Edy Si Batak Pendengar dan Pelawak


Edy yang selalu tulus dalam tersenyum dan tak tampak wajah sedih di dirinya.
Kalau ada yang harus aku persalahkan mengapa dulu aku menghabiskan uang jajanku pasti orang itu adalah Edy. Edy jugalah yang meracuni otakku dengan bacaan fiktif, cabul, horor, komikus, novel dan yang kocak. Karena Edy adalah orang yang mengenalkan aku pada Trio Gareng Petruk Bagong, juga dengan Nick Carter, atau pahlawan 212 Wiro Sableng, Cinmi, Pendekar Rajawali dan yang lainnya. Yaitu mengenalkan aku pada sebuah taman bacaan yang ada di sudut tikungan dimana kami biasa menunggu angkot pulang ke Pangkalan Sesai dan atau pergi ke sekolah SMANDA.
Aku boleh menyewa tuk dipinjam, buku-buku novel, majalah atau komik yang ada hanya dengan mendaftar Rp. 2.500,- sebagai anggota. Seterusnya satu buku bisa disewa seharga 500 sampai 1.000 perak. Buku-buku yang komplit tersusun di rak kayu. Taman bacaan yang sempit sesak dengan buku-buku kumal karena habis di baca ratusan orang, barangkali demikian. Dan hanya menyisakan ruang itu untuk satu buah bangku dan meja untuk penjaganya. Sangat sesak dengan tumpukan buku.
Di sebelah kanan taman bacaan ini ada tempat cukur rambut pria murah meriah. Sebelah kanannya lagi terdapat Tailor si Uda dari Pariaman. Sebelah kiri taman bacaan terdapat warung jualan sembako. Semuanya berukuran tiga kali tiga meter. Pas, tidak ada ruang tersisa, atau tepatnya bisa dibilang sesak dan sempit. Tetapi selalu penuh dengan orang yang berlangganan seperti aku, atau orang yang hanya baca di tempat dan melihat-lihat saja. Barangkali dia tidak bisa membaca.
Sedangkan di depan taman bacaan ini adalah tempat angkot yang sedang nge-time. Dari tempat ini pula aku banyak mengenal sama tukang timer angkot dan tukang cuci mobil yang berada disebelahnya. Ada tukang gorengan di sebelah pencucian mobil, sering kali aku melihat Edy makan tiga tetapi bayar dua. Aku geli melihatnya. Tapi terkadang aku yang mendahului membayarkan semua gorengan yang Edy makan agar Edy bisa menghemat uangnya untuk menyewa buku Ko Ping Ho atau Wiro Sableng kegemarannya.
Terkadang dari rumah aku dan Edy harus berjalan kaki, kemudian menaiki angkot satu kali dari prapatan menuju ke taman bacaan ini. Dari taman bacaan ini kami naik angkot satu kali lagi menuju sekolah. Edy adalah kakak kelasku, sedikit ceroboh tapi pintar ngomong. Keinginannya menjadi seorang pengacara atau kuliah mengambil jurusan Hiburan Internasional, katanya sambil berseloroh (yang betul Hubungan Internasional). Di SMA ini ia mengambil jurusan A3, atau jurusan Sosial, (di jaman Orba). Dia adalah orang Batak yang lucu. Imajinasinya tinggi.
Hidup hanya berdua dengan abangnya, aku sering memanggilnya Jon, seorang putus sekolah. Abangnya kernet dari truk, wajahnya selalu sedih dan muram berbeda dengan Edy yang bersemangat dan lucu. Mereka anak yatim piatu. Menginap di rumah Tulangnya yang kebetulan kami bertetangga. Agak jauh memang, kira-kira lima ratus meter kedalam. Terkadang aku membawakan kerupuk nasi, gula, kopi dan rokok ke rumah Edy hanya untuk mendengarkan Edy bercerita apa saja. Cerita yang keluar dari mulut Edy pasti lucu.
Awalnya aku tidak pernah bekerja cuci mobil di sana tetapi karena Edy yang memulai bekerja disana maka aku pun terlibat menjadi pegawai cuci angkot. Uangnya buat jajan aku dan Edy. Sedangkan Edy uangnya terkadang dibelanjakan minyak goreng atau beras lima kilo. Kehidupan Edy layaknya sebagai ibu rumah tangga yang memasak buat abangnya. Kalau makan siang tiba Jon yang kebetulan menyempatkan diri pulang ke rumah selalu mengakhiri cerita-cerita lucu Edy. Karena Jon bawaan dirinya selalu serius membuat suasana rumah jadi kaku dan tegang.
Jika mereka berdua berkumpul aku terkadang membeli kerupuk opak untuk kami makan bersama. Walaupun Edy tak pernah menolak jika aku datang dan selalu menyisakan satu piring buatku tetapi aku selalu ada cara untuk menolak makan. Aku hanya ingin berkumpul dengan mereka untuk melihat senyum Edy, dan tarikan isapan rokoknya yang dalam, dan adukan kopinya yang katanya “mantap punya”.
Kegilaan Edy untuk mengocok perut ku tidak ada habisnya walau terkadang sesekali Edy menatap kosong ke arah yang jauh. Entah apa yang ia fikirkan. Kebahagianku untuk selalu berseloroh terpaksa dihentikan kebiasaan itu karena Edy dan Jon akan pergi meninggalkan aku dan kota ini. Keesokan harinya Edy mengemas barang-barangnya dan siap pergi bersama Jon untuk menetap di kota lain. Karena seminggu sebelumnya Edy telah lulus dan tamat dari SMA.
Memang ada yang hilang dari Edy selama aku harus berangkat ke sekolah sendiri. Tidak ada senyum Edy yang menghibur, tidak ada teman seperjalanan, tidak ada orang yang memiliki semangat sehebat dia. Aku tidak pernah singgah di taman bacaan itu lagi tapi hanya sesekali kulakukan jika kangen sama masa lalu itu. Yaitu Edy. 
Ketika aku pulang kembali ke kota itu…. Semuanya telah berubah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar