Senin, 18 April 2011

UAN (Untuk Adu Nyali) dan Prestise


Ini hanya menurut saya, seorang guru itu adalah guide bagi buku dan ilmu, murid membutuhkan seorang yang dipercaya bukan hanya karena mereka membayar dan memperkerjakan beliau. Saya mungkin terlalu banyak menonton film, dimana diceritakan selalu tentang murid yang sulit mencari gurunya yang pas, atau guru yang mencari muridnya yang layak menerima ilmunya yang jarang dan tidak mudah diterima. Untuk kedua cerita yang menarik itu pasti mengundang simpati. Atau cerita seorang guru yang merubah hidup muridnya, atau cerita guru yang merubah pola pendidikan sekolahnya. Bahkan cerita sekolah yang banyak hantunya menjadi film yang laku, walau nilai edukasinya hanya sedikit doang.
Tapi saya tidak pernah melihat dan mendengar akan cerita yang difilmkan, tentang guru yang rutin datang ke sekolah karena sekolahnya sudah ada beserta muridnya, juga program pendidikan pun telah disediakan, serta untuk mengevaluasi guru dan muridnya juga telah disediakan UAN. Karena nilai rata-rata muridnya didapat dari hasil UAN, menilai kemampuan gurunya menyampaikan kurikulum yang akan diuji telah tersampaikan dengan baik. Muridnya akan mendatangi sekolah-sekolah dengan sendirinya, lalu di tes untuk menyaring yang terbaik, lalu guru dengan mudah menyampaikan program kurikulum karena muridnya sudah di tes sebelum masuk sekolah ini. Lalu nilai rata-rata adalah target utama, lalu memastikan lulus UAN. Jiaaah, terlalu biasa. Pasti film ini tidak laku. Garing.
Atau film tentang seorang murid yang baru tamat SMP lalu mencari SMU yang bonafit dengan kemampuan menerima pelajaran yang biasa-biasa aja, ikut tes masuk, lulus. Sekolah tiga tahun menerima kurikulum dengan biasa aja. Di sekolah memiliki teman bergaul. Pulang ke rumah hidup normal layaknya remaja, buka internet, gonjrang-gonjreng, nongkrong, atau main game. Besoknya sekolah lagi. Setelah UAN ia lulus lalu corat-coret. Setelah tamat menganggur dan jadi tukang ojek. Jiaaahhhhh. Pasti film ini juga gak bakal laku. Garing.
Berarti cerita tentang UAN memang enggak garing-garing amat untuk di ceritakan dalam sebuah film, laku belum tentu, tapi sangat unik. Karena menurut saya UAN hanyalah program pemerintah untuk menyamakan semua tempat dengan satu program pendidikan pencerdasan bangsa, juga untuk memudahkan mengevaluasi daerah-daerah, memudahkan semua guru untuk berpacu meluluskan muridnya agar lulus UAN. Lalu tiba-tiba cerita UAN menghiasi layar kotak, TV tempat membangun ambisi, UAN jadi headline, yang di sorot spotlight adalah guru dan muridnya. Sebenarnya tokoh utama cerita disini adalah UAN, bukan guru, bukan murid, tapi pemerintah, karena di luar negri tidak ada UAN, hanya di negeri ini.
Anda sebagai orangtuanya bertanya, “Apa sih hebatnya UAN?” Hebat tentunya, selain bisa memantau dan memetakan kecerdasan bangsa dari warga negaranya, juga dapat menyatukan bangsa dalam satu lembar kertas ujian yang sama di seluruh tempat ujian. Seperti memiliki hape (handphone), memiliki kertas ujian ini sama ngetrend dan kerennya. Bayangkan jika anak anda belum pernah menyentuh kertas ini, wah cupu! Gak gaul! Gak perkasa, karena gak makan bangku sekolah.
Anda masih ragu, kemudian bertanya lagi, “Trus apa lagi hebatnya?” Ah masak masih belum tahu juga! Kalau anak anda bisa lulus dari UAN berarti anak anda normal, setara, memenuhi cita-cita bangsa, melaksanakan tujuan pemerintah dan hidup layak (layaknya anak-anak yang lulus). Jangan berfikir untuk mendapat rangking pertama se nasional, bisa lulus saja sudah keren, karena ujian ini nasional, artinya nasionalis. Jangan cetek dulu. Anak anda patriot bagi keluarga anda, seperti anda memiliki dua anak cukup dan mendapatkan lencana itu.
Anda merasa kurang, lalu bertanya lagi, “Cuma itu?” Tentu saja tidak. Anak anda telah melaksanakan tugasnya sebagai anak yang mau belajar. Anda saja tidak pernah rangking satu di kelas, maka jangan memaksa anak anda jadi yang pertama dan pionir di keluarga anda. Anda jadi kuli maka jangan memaksa anak anda jadi insinyur, syukur-syukur anak anda jadi juragan tukang sayur, tapi se jabotabek. Kalau anak anda gagal pasti anda menyalahkannya, tapi kalau anak anda berhasil anda juga yang ngaku-ngaku, lalu buat anaknya apa dong? Maka untuk itu bisa duduk dan ikut ujian ini berarti anak anda sudah satu langkah lebih maju. Walau pun setelah itu menganggur itu bukan salah anda tentu anda lah yang harus menyalahkannya.
Lalu hadir cerita ibu Halimah yang berjuang mempertahankan sekolah dan muridnya, cerita ini laku keras. Karena pemenang olimpiade juga bukan datang dari guru yang biasa-biasa saja, harus guru yang luar biasa.  Pernah tidak anda mendengar? Cerita tentang guru killer, guru pemulung, atau dosen diktator (jual diktat beli motor) yang bertahan hidup dari hasil jualan diktat. Semua tadi sangat menarik, sama dengan UAN. Tokoh yang tak terganti walau pun musim telah berganti. Apa pun itu kalau hasilnya baik yah buat saya tak masalah, karena pendidikan itu bukan terukur dari berapa banyaknya ia belajar tapi dari hasil yang terukir. Sekolah tinggi-tinggi bukan berarti harus ke perguruan tinggi. Ini hanya menurut saya, karena perbedaan itu harus disamakan maka sekolah saja berseragam untuk membedakan tingkatan, anda berseragam apa: merah putih, biru putih dan putih abu-abu.
Ha ha ha ha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar