Senin, 04 April 2011

(Hahay Story 031) TERTUKAR


Penyakit kanker otak yang menghinggapi Sarmin telah membuatnya putus asa. Setelah melakukan photo scan pada tengkoraknya maka ia siap membawa hasilnya ke ruang dokter. Menunggu namanya dipanggil ia duduk di ruang tunggu. Bersamaan dengannya di ruang itu ada Saimin yang kebetulan memiliki penyakit sama dengannya. Saimin lebih grasak-grusuk tidak karuan, merasa sangat takut menghadapi vonis dokter, ia mundar-mandir di ruang tunggu tidak mau duduk. Tiba-tiba, saat ia mundur, terjatuhlah Saimin membentur Sarmin yang tengah duduk tenang. Barang bawaan Sarmin berhamburan, begitu juga barang bawaan milik Saimin.
Sarmin berusaha sabar dan memaafkan tingkah gusar Saimin, lalu memunguti semua barang miliknya. Entah bagaimana hasil scan miliknya tertukar dengan milik Saimin. Saat itu pula nama Sarmin dipanggil suster untuk masuk menemui dokter, dengan bergegas-gegas ia masukkan arsipnya ke dalam map tanpa memperhatikan lagi yang ia masukkan.
Setibanya di dalam Sarmin pun telah siap menghadapi vonis apa pun yang dokter berikan padanya. Dokter memperhatikan hasil scan milik Saimin, bukannya milik Sarmin, tetapi karena dokter tidak mengetahuinya dan tetap memvonis memberinya sisa waktu hidup tinggal 5 bulan lagi. Dan Sarmin menerima dengan perasaan tenang dan penuh mawas diri untuk mempersiapkan penyembuhan dirinya yang akan dilaluinya bersama sisa waktu yang dimiliknya.
Berikutnya giliran Saimin yang dipanggil masuk untuk menerima vonis sisa waktu yang seharusnya milik Sarmin. Saimin mendapat vonis memiliki waktu lebih panjang lagi dari Sarmin yaitu memiliki sisa waktu 32 bulan lagi. Dengan perasaan lega Saimin yang tadinya gusar pulang dengan langkah kaki yang tegap.
Saat di depan gerbang pintu keluar rumah sakit bertemulah keduanya. Saimin yang menaiki mobil menghentikan kendaraannya di sisi Sarmin yang kebetulan hanya jalan kaki. Saimin keluar dari mobilnya dan mendekati Sarmin, bermaksud minta maaf atas kelakuannya tadi di ruang tunggu. Kemudian keduanya berbincang-bincang saling menyemangati, Sarmin menceritakan vonisnya kepada Saimin, begitu pula sebaliknya. Saimin merasa sangat beruntung dengan sisa hidupnya jauh lebih panjang dari Sarmin, padahal vonis mereka telah tertukar. Dengan perasaan beruntung Saimin melebih-lebihkan diri, “Hidup orang siapa yang tahu? Hahaha, bukan begitu pak?”
Esok hari, dimulainya pengurangan sisa hidup masing-masing. Sarmin yang berfikir memiliki sisa waktu hidup lebih singkat, ia mendekatkan diri dengan Tuhannya dan mencoba mengikuti nasehat dokter untuk hidup sehat. Kebetulan Sarmin yang hidup penuh pas-pasan, tidak sanggup untuk melakukan operasi, dan hanya meminum obat yang diberikan dokter dan menjaga pantangannya. Semakin hari semakin dekatlah ia dengan Tuhan, selalu berdoa untuk pengampunan dan dihindarinya dari siksa hidup, betapa bahagianya ia mendapatkan keringanan perpanjangan waktu itu. Ia merasa tak punya waktu lagi untuk bercengkrama dengan keluarganya dan larut dalam khusyuknya ibadah. 
Begitu juga dengan Saimin, merasa sisa hidup masih lebih panjang dari Sarmin, maka ia menghabiskan sisa hidupnya untuk upaya pengobatan dan mempersiapkan mati. Karena ia memiliki kemampuan materi yang jauh lebih dari cukup untuk biaya operasi, maka ia memilih berobat keluar negri. Karena fikirnya waktu yang dimilikinya lebih panjang, maka ia mempersiapkan hal-hal menjelang kematiannya terlebih dahulu sebelum berangkat ke luar negri. Yaitu surat wasiat, pembagian harta, usaha miliknya, dan semuanya yang membuatnya tenggelam dalam waktu. Dan ia jauh-jauh hari mempersiapkan semua itu. Dan sehabis pulang kerja ia menyempatkan menikmati sisa hidupnya dengan teman-teman sepergaulannya. Begitu  juga sisa kebahagiannya bersama keluarga tercinta benar-benar ia nikmati.
Waktu berjalan dengan pasti, lima bulan diawal telah dilewati Sarmin. Sesuai vonis dokter seharusnya hari-hari menjelang adalah malaikat maut bagi Sarmin. Tetapi setiap bangun pagi ia selalu awali dengan mendekati diri dengan Tuhan, seperti merasa mendapat kasih sayang Tuhan yang berlebih, maka fikirnya bahwa ia mendapat keringanan perpanjangan waktu. Setelah bulan kelima ia lewati Sarmin belum juga dipanggil Tuhan dan dengan penuh kesyukuran terus menjaga kesehatannya dan menikmati hari-hari sisa hidupnya. Ia masih bersyukur memiliki waktu untuk lebih lama lagi bercengkrama dengan keluarganya dan itu membuatnya bahagia. 
Begitu juga Saimin, lima bulan yang dilewatinya dengan persiapan menyambut kematiannya yang telah rampung, tanpa ia duga mati pun menjemput lebih cepat dari vonis dokter yang ia fikir seharusnya masih menyisakan 27 bulan lagi. Saimin belum menyempatkan dirinya untuk melakukan operasinya di luar negri terlanjur dipanggil Tuhan. Hanya menyisakan kesedihan buat seluruh keluarganya.
Kebahagiaan Sarmin tidak pernah tertukar dengan kebahagaian Saimin. Karena rezeki dan kematian yang Tuhan berikan itu tidak pernah tertukar. Kebahagiaan Sarmin belum tentu juga sama dengan kebahagiaan Saimin, bersamaan dengan waktu 27 bulan kemudian Sarmin pun dipanggil Tuhan, Sarmin merasa Tuhan telah memberikan waktu untuknya untuk mewariskan kepada keluarganya betapa bahagianya ia telah dekat dengan Tuhan, dan Tuhan telah mengasihinya memberi lama waktu lagi untuk mengasihi keluarganya.
Tuhan selalu punya cara untuk membahagiakan dalam candaNya. Ahay...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar