Selasa, 19 April 2011

Chapter 13 Afrison Si Jenius

Hari ini aku mendengar berita duka tentang sahabat ku yang meninggal karena kecelakaan motor yang ia kendarainya. Setelah beberapa hari bertahan dengan luka di dalam perutnya, akhirnya ia kalah. Seorang sahabat yang pendiam dan tekun bekerja. Lalu ia mengingatkan ku pada sahabatku sewaktu kuliah dulu. Afrison, seorang yang lucu, pintar dan lugu. Pekerja keras dan mati muda.
Kalau ada diantara kami yang berambisi untuk menyegerakan tamat kuliah, dan memompa ambisi rekan-rekan sekelas, dan memberikan contoh idealisme tentang menjadi seorang mahasiswa yang baik dan benar, pasti orang itu adalah Afrison. Dia adalah tipe orang pekerja keras. Aku mengenalnya saat itu sewaktu kebetulan kami satu kelas, dia telah sibuk dengan banyak kerjaan dan kegiatan. Dari mulai mengajar, sibuk mencari nafkah buat dirinya sendiri, sampai agenda kegiatan di gerejanya.
Berbicara selalu diselingi dengan bahasa Inggris yang kental, maklum sehari-hari beliau berprofesi sebagai guide turis-turis manca Negara yang melancong ke Sumbar, juga pedagang kaos oblong. Tapi yang membuat aku kagum padanya adalah tak pernah aku melihatnya lelah. Tetapi hari itu lain, seperti orang yang tengah menahan sakit dia tertidur di ruang kelas, sementara dosen terus memberikan materi pengajaran. Yang ku ingat, setelah hari itu untuk beberapa hari kemudian ia tak pernah lagi masuk kuliah.
Hari-hari sebelumnya, yaitu hari-hari dari semester satu sampai hari terakhirnya kuliah, adalah hari yang menyenangkan buat kami, karena Sesra, rekan kuliah ku yang satu ini jago menirukan semua rekan dan dosen-dosen pengajar disini.  Sesra sangat senang mengolok-olok gaya berjalan Afrison, juga gaya bicaranya, walau pun Afrison ada di sekitar kami tetapi ia tidak pernah marah. Bahkan membalas dengan menceritakan joke-joke selama ia membawa bule-bule turis yang pernah ia temui.
Gaya berjalan Afrison seperti robot, tulang lehernya agak pendek, rambut klimis dengan minyak rambut tebal, celana jeans ketat dan bersepatu bak pendaki gunung. Baju apa pun yang ia kenakan selalu masuk dalam celana jeans ketatnya, dengan sabuk besar, dan celana agak ke atas, seperti jojon. Pandangan selalu lurus ke depan, mau menoleh saja harus memutar setengah badannya, makanya ia sering diolok-olok Robocop.
Ambisi untuk menamatkan kuliahnya sebelum kami semua hampir terwujud. Dia dan Nandat, teman sekelas lainnya, berhasil mendapatkan bea siswa karena kepintarannya. Diantara aku dan dia ada kesamaan yaitu sama-sama berambisi menyegerakan tamat kuliah. Tapi saat itu aku kalah cepat dan kalah pintar dibandingkan dengannya. Setelah hari itu ia mengajukan judul untuk Tugas Akhir, ia tenggelam dalam kesibukannya sendiri. Hanya menyisakan beberapa mata kuliah untuk perbaikan nilai, ia kuliah mulai dengan perasaan lelah. Beberapa hari kemudian ia tak pernah masuk kuliah lagi. Ia jatuh sakit, berbulan-bulan ia menanggung sakit bahkan sempat koma selama sebulan lebih.
Kami pun membesuk ke rumah sakit. Kami temui dirinya sudah jauh lebih kurus dari sebelumnya. Kumis dan janggutnya memenuhi wajahnya, sehingga awalnya kami sulit mengenal dirinya. Disana kami mengenal siapa Afrison sesungguhnya melalui cerita ibunya. Afrison adalah anak tulang punggung keluarga, biaya kuliahnya pun ia cari sendiri. Itulah mengapa ia ingin segera menamatkan kuliahnya. Tapi apa mau dikata perjuangan Afrison berakhir di rumah sakit ini. Beberapa hari setelah kami membesuk beliau pun kalah dengan penyakit levernya.
Sampai hari terakhir bertemu dengannya masih terdengar joke-joke beliau tentang bule dan dosen diktator (jual diktat beli motor). Karena aku dan beliau termasuk orang yang tidak membeli diktat itu. Selamat jalan kawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar