Senin, 23 Mei 2011

(Hahay Story 047) MALING VS VETERAN


Malam itu Jono sang veteran tua tenggak miras (minuman keras), dicampur dengan es batu (kalau ini benar-benar keras), tuak aren bercampur air anggur ia tuang ke dalam gelas. Ia tidak sendirian. Malam itu juga adalah malam mabuk bersama veteran lainnya. Setelah pensiun tabiat mabuk belum bisa mereka singkirkan. Berteman malam yang terang bulan, buah-buahan hasil kebun dan kacang kulit rebus, mereka berkelakar tak pandang uzur. Saling ejek perihal takut perang, Jono mengejek Kirman yang suka menangis terlebih dulu sebelum berangkat perang karena takut mati. Juga Sarkas mengejek Jono yang tak pernah tepat kalau menembak. Atau Kirman yang mengejek Sarkas yang tak bisa berenang selalu hanyut dalam arus sungai. Ketiganya mabuk masa lalu.
Setelah lelah siang harinya memanen kacang tanah, ubi rambat, singkong, pisang, dan manggis, mereka merayakannya. Menikmati singkong, kacang dan ubi rebus buatan istri pak Jono. Mereka tak henti-hentinya berkelakar di taman belakang rumah di tepi kolam ikan. Tengah mabuk-mabuknya tiba-tiba terdengar suara ibu-ibu tua berteriak, “Maling! Maliiing! Maling!” Tetangga sebelah kemalingan, ketiganya gelagapan, panik tidak keruan, Sarkas jatuh dari kursi dan berdiri kembali, Jono dan Kirman langsung lari meninggalkan Sarkas. Sebelum mereka lari Jono dan Kirman meraih sesuatu sebagai senjata untuk pertahanan diri bila berhadap-hadapan dengan sang maling.
Berlari sampai ke ujung jalan, keduanya kelelahan, di belakang keduanya Sarkas menyusul. Berlari ke arah suara ibu tua menjerit minta tolong kemalingan. Setelah mengambil udara mengisi paru-paru keduanya masih puyeng karena mabuk. Sarkas sang mantan komandan yang baru menghampiri langsung memberikan aba-aba agar menyebar, mendengar suara Sarkas keduanya seperti mendengar sebuah perintah perang. Mereka berpencar mencari maling yang diteriaki dan mereka juga tidak tahu datangnya dari mana. Karena mabuk mereka tetap terus berlari.
Jono berlari sendirian, masih dalam keadaan mabuk Jono berlari sempoyongan dan jatuh bangun. Sesampainya di kebun miliknya ia beristirahat. Tiba-tiba matanya menatap sesosok orang mengendap-endap, berkelebat bayangan hitam dalam gelap, hanya cahaya bulan yang membimbingnya. Jono menghampiri bermaksud menyergap dari belakang. Jalan berhati-hati menghindari suara gaduh atau bahkan menginjang ranting kering, membuat jantungnya berdetak kencang sampai membuat telinga tuanya bergema karena suara jantungnya sendiri (takutdotcom). Undrenalinnya memuncak, sudah lama sekali perasaan seperti ini, terakhir kali saat perang masih berkecamuk. Tapi jiwa tentaranya yang membuat ia tegar dan siap melawan sang maling.
Setidaknya menyisakan empat langkah lagi Jono akan menangkap sosok dalam gelap itu. Sosok dalam gelap itu berjalan mundur perlahan, hanya punggungnya saja yang terlihat. Bayang-bayang gelap itu tiba-tiba membalikkan badan dan menodongkan sesuatu ke arah Jono.
“Jangan bergerak atau aku tembak kepalamu!” kata sosok itu sambil mengacungkan sesuatu ke arah jidatnya. Jono ketakutan, kakinya gemetaran. Karena takut dan gemetaran, kaki Jono lemah layu, ia terduduk.
“Aku bilang jangan bergerak nanti aku tembak kau!” gertak sosok itu lagi. Tiba-tiba Jono merogoh sakunya dan mengeluarkan geranat. Semangatnya timbul lagi seperti mendapat semangat kedua.
“Ha ha ha. Paling tidak kita mati berdua. Aku memegang granat saat ini, jarak kita hanya satu dua meter. Kau tak bisa lari dari ku.” Ujar Jono balik menantang. Sosok itu tersurut tapi kemudian terdiam, seperti sedang berfikir.
“Ha ha ha. Kau fikir aku takut hah? Kau kira aku bodoh? Mana ada granat zaman begini. Kau sangka dirimu tentara?” tantang sosok gelap itu, dan tetap mengacungkan ke kepala Jono, keduanya tak bergeming.
“Ternyata nyalimu besar juga. Betul. Aku ini mantan tentara. Jangan kau kira aku tak tahu cara meledakkan granat ini. Lebih baik mati daripada pulang membawa malu.”
Keduanya membisu.
  Tiba-tiba dari kejauhan datang sesosok bayangan lagi, mendekat ke arah keduanya, semakin dekat, semakin jelas, menghampiri Jono. Begitu dekatnya sosok itu berdiri diantara keduanya, Sarkas datang tepat waktu. Jono pun merasa beruntung, dalam hatinya ia tidak sendiri menghadapi maling itu dan fikirnya lagi ia tidak akan mati sendirian setidaknya ditemani sahabatnya yang juga mantan komandannya. Tiba-tiba Sarkas murka.
“Sedang apa kalian berdua hah? Kau Kirman mengapa kau mengacungkan pisang ke jidat Jono? Dan kau Jono apa yang akan kau lempar itu, buah manggis?” Sarkas mencak-mencak.
“Oh kau Sarkas.” Ujar keduanya baru menyadari bahwa mereka saling bertemu, sosok dalam gelap itu adalah Kirman yang Jono sangka dirinya adalah maling. Begitu juga Kirman menyangka Jono lah sang maling dan ia mengacungkan buah pisang yang ia bawa saat terburu-buru lari mengejar arah suara tersebut. Dan granat yang Jono bawa adalah buah manggis yang ia panen tadi siang.
Sementara ibu tua yang menjerit maling itu tengah mengejar kucing yang mencuri ikan bawal yang siap panggang. Bumbu telah ia sediakan dan bara telah ia nyalakan, sementara bawal kesyangan telah dibawa kabur sang kucing. Sambil mengayun-ayunkan sapu si ibu mengejar ke segala penjuru rumah sambil meneriaki maling.
Untuk menempuh jalan pejuang semua orang harus menjalaninya sendiri-sendiri, ketakutan akan perang itu masih terbawa saat Jono sadar atau pun mabuk. Mabuk bersama itu mereka lanjutkan sampai tengah malam. Lalu Sarkas menceritakan kembali ketololan kedua temannya sambil mencekik gelas berisi miras, mereka tertawa terpingkal-pingkal. 
Ahay...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar