Selasa, 10 Mei 2011

(Hahay Story 042) Timun & Ubi Jalar Merah


Sebuah kebun milik pak tani muda tepat bersebelahan dengan hutan milik pemerintah. Lahan gambut dan subur, juga bersebelahan dengan sungai kecil berair warna kecoklatan seperti air sedu daun teh. Karena lahan gambut itulah maka warna airnya kecoklatan, tetapi bersih dan tidak berbau. Seorang petani timun bertopi jerami tengah menyiangi tanamannya dari gulma dan tumbuhan pengganggu lainnya. Sementara dilihatnya buah timun mulai membesar perlahan-lahan, tersirat senyum kegembiraan. Betapa ia menanti hari itu. Setelah ia tanam dan rawat sampai hari ini, melihat kemajuan yang menggembirakannya, buah-buah mulai menunjukan hasil. Setelah selesai menyiangi ia pun duduk di tepian pagar yang hanya tinggi satu meter. Pagar dari potongan bambu dibuatnya untuk menghindari babi hutan atau binatang lainnya agar tidak merusak tanaman. Sambil mengipas-ngipas badannya dengan topi jeraminya ia meneguk air dari botol bekas minuman mineral 1 liter.
Tapi petani itu tak menyadari bahwa selain gulma dan hama, atau binatang berkaki empat yang merusak tanaman, ada juga seorang yang tengah mengintai dari balik pagar di sebelah sisi lain kebunnya. Seorang pencuri yang telah siap menggasak habis buah timun milik petani tersebut. Seusai istirahat petani itu pun mulai mengemasi barang-barangnya untuk dibawa pulang, dan esok ia siap memetik panen. Tapi sang pencuri juga telah siap sedia dengan karungnya untuk terlebih dulu memanen timun tersebut. Baru beberapa kayuh pedal sepeda, petani meninggalkan kebun, sang pencuri pun beraksi.
Pencuri dengan sangat rakus memetik timun-timun yang berukuran besar saja, ia masukan ke dalam karung. Sampai empat karung terisi penuh sang pencuri pun memindahkannya ke dalam hutan untuk ia bawa pulang melalui hutan tersebut. Dengan memikulnya pencuri itu pun berhasil memindahkan satu per satu hasil curiannya.
Keesokan harinya petani bertopi jerami itu datang kembali bersama sepeda ontel miliknya. Alangkah terkejutnya saat ia melihat sebagian besar timun yang siap panen itu telah raib. Dengan wajah sedih pak tani itu mengelilingi kebunnya, ia dapati hanya tersisa sedikit saja yang bisa ia petik dan sebagiannya lagi masih kecil-kecil. Runtuhlah imannya. Tapi pak tani tak sedikit pun memaki, atau kata cacian, amarah, dan kedengkian yang keluar mulutnya. Hanya ia berusaha menahan tangis sambil terduduk di tanah garapan yang bukan miliknya, ia hanya petani garapan saja.
Tak lama berselang sepeda mini milik anak perempuannya mendatangi beliau dengan membawa bungkusan nasi dan satu botol air minum di keranjang depan. Anak itu terkejut melihat ayahnya tengah terduduk bungkam. Tak berani mengucapkan salam ia hanya diam sambil menjinjing bawaannya. Rencananya putri kesayangannya akan membantu memetikan buah. Lalu ia menghampiri ayahnya. Sang petani lalu bangkit dari duduknya dan membuang jauh-jauh wajah muramnya, ia tersenyum menyambut putrinya. Seolah ia telah melupakan kepedihannya, ia mengajak putrinya untuk tetap memetik sebagiannya saja yang bisa mereka petik.
Setelah selesai memetik mereka pun makan bersama nasi bawaan dari rumah. Sambil makan sang ayah berkata, “Ini timun bakal buat uang sekolah kamu, jadi kita harus jual hari ini juga.” Mendengar ucapan ayahnya sang anak tersenyum saja sambil menguyah nasi. Dalam hatinya penuh pertanyaan dan ia menunggu ungkapan perasaan ayahnya perihal hilangnya buah timun mereka yang dicuri. Tapi tak satu kata pun yang terucap dari sang ayah tentang hal itu. Sampai pulang pun sang ayah tak menceritakan apa-apa, seperti tidak terjadi apa-apa.
Hanya bisa mengangkut dua karung timun, satu diletakkan di sepeda anaknya dan satu di sepeda ayahnya. Lalu sang putri naik ke sadel dan mulai mengayuh pedal. Sebelum mulai mengayuh sepedanya sang ayah memanggil dan putrinya menghentikan kayuhnya. “Besok bantu ayah memanen ubi jalar merah yah! Kan hari ini tidak banyak tenaga jadi besok kan masih kuat memanen ubi?” Pinta sang ayah. Putrinya mengangguk kencang dan tersenyum. Selain tanah garapan ini beliau juga punya tanah garapan lainnya, yang juga diijinkan tuan pemilik tanah untuk mereka garap. Keduanya tersenyum dan mulai mengayuh sepeda meninggalkan kebun.
Beberapa menit kemudian terdengar suara tangis dari balik belukar tak beberapa jauh dari kebun garapan petani tersebut. Sang pencuri tak kuasa menahan bendungan air matanya. Ia menangisi dirinya sendiri. Setelah ia menyaksikan keikhlasan petani itu dan begitu juga kasih sayang anak dan ayah, semakin bercucuranlah air matanya. Betapa ia merindukan kasih sayang ayahnya yang sekarang tengah sakit dan tak berdaya di rumah. Kedua orang tuanya sudah terlalu tua dan tak sanggup memberikan nafkah lagi buatnya. Dengan terpaksa mencuri pun ia telah melukai hatinya sendiri. Sementara petani yang tak punya tanah saja bisa memiliki kebun dan buah siap panen. Sang pencuri pun guling-gulingan di tanah sambil menangis tersedu-sedu.
Ahay....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar