Senin, 02 Mei 2011

(Hahay Story 039) Jambu Air

Watseni adalah seorang kakek tua pemilik pohon jambu air. Tempat tinggalnya berada diujung jalan bersebelahan dengan mushala dan tanah lapang tempat anak-anak bermain bola. Halamannya sedikit luas, yang ia tanami satu batang pohon jambu, satu batang pohon nangka, satu batang pohon rambutan, satu batang pohon belimbing, satu batang pohon mangga, satu batang pohon ara dan satu batang pohon sirsak. Jarak satu batang dengan yang lainnya berdekatan. Untuk ukuran orang yang tinggal di Jakarta, pasti rumah Watseni termasuk luas, dan jarang sekali orang menanami halamannya dengan berbagai tanaman buah.
Yang membuat heboh hati dan mengocok perasaan gundah Watseni adalah sepohon jambu air itu, selalu berbuah lebat dan menggiurkan. Maka buah-buah jambu itu selalu menggoda orang yang lalu lalang di bawahnya. Karena letaknya bersebelahan dengan mushala maka daun-daunnya yang kering pasti suatu saat akan jatuh ke jalanan dan kemungkinan ditiup angin menyeberang ke mushala, sangat mungkin sekali membuat kesal penjaga mushala. Dan mushala pasti akan selalu didatangi orang, dan orang-orang itu sebelum masuk ke mushala pasti akan menengok ke atas dimana jambu-jambu merah itu menggoda. Sementara pohon buah lainnya agak ke dalam pekarangan dan buahnya pun jarang, kecuali rambutan dan sirsak.
Watseni yang tidak enak hati itu mengurangi dahannya dengan cara memotong dahan yang keluar dari pagar rumahnya. Tetapi anehnya, tunas-tunas yang baru selalu tumbuh mengarah ke mushala itu, terlebih lagi buah-buah jambu yang menggelayut itu pun lebih banyak tumbuh ke arah mushala dibandingkan yang menghadap ke rumah Watseni. Sementara dahan yang mengarah ke rumah Watseni adalah dahan yang sudah tua dan tidak di tumbuhi tunas lagi hanya menyisakan dahan segitunya saja, tidak bertambah atau pun berkurang.
Orang-orang yang lalu lalang pasti tergoda oleh rimbunan buah jambu milik Watseni. Pada suatu siang, sepulangnya anak-anak SD dari sekolah dan melewati jalan di sebelah rumah Watseni, tergodalah mereka untuk menikmati dan merasakan buah jambu itu. Lalu mereka berteriak dari balik pagar memohon Watseni untuk memberikan izin agar mereka diperbolehkan memetik jambu-jambu tersebut. Tak henti-henti mereka berteriak. Lalu merasa terusik oleh teriakan mereka, sang kakek keluar dan menghampiri mereka dari balik pagar, karena umurnya yang sudah uzur kakek pun mendengar suara itu sayup-sayup dan jalannya perlahan tapi pasti sampai ke tepi pagar miliknya.
“Kek, bagi dong jambunya?” pinta anak-anak SD itu.
“Bukannya kakek tidak mau memberikannya tapi jambu-jambu itu belum matang. Datanglah lagi barang seminggu lagi. Minggu depan matanglah, datanglah kalian, buah-buah itu pasti boleh kalian petik sendiri. Ia toh?” Watseni menjelaskan.
“Ah kakek pelit. Bilang aja tidak mau kasih.” Kata salah satu anak yang bertubuh lebih besar dan dibandingkan yang lainnya, merasa terwakili yang lain pun mengiyakan dan mengangguk serempak.
“Bukannya kakek pelit. Begini ya, kalau jambu itu tidak dipetik sesuai waktunya, nanti jambu-jambu itu tidak mau berbuah lagi dalam waktu yang tepat dan cepat. Jambu itu juga, kalau tidak dipetik pun nanti busuk dan berguguran, juga bisa membuat jambu tidak mau berbuah lagi dalam waktu dekat. Iya toh?” Sang kakek menjelaskan lagi.
“Huuuuuu. Kakek pelit! Kakek pelit!” sambil berlari mereka meneriaki sang kakek. Watseni pun sedih dibuatnya. Berjalan sangat pelan menuju rumahnya lagi. Dalam hatinya ia berjanji akan menyisakan buah jambu itu dengan jumlah banyak dan akan ia bawa menuju SD tempat anak-anak itu sekolah.
Dua hari kemudian, giliran dua anak pemulung masih remaja tanggung. Merasa siang itu sangat panas mereka beristirahat di depan mushala, lalu pandangan keduanya tertuju tepat ke arah jambu-jambu merah itu. Dengan rasa haus dan keinginan merasakan jambu-jambu itu, mereka memberanikan diri meminta izin pada sang pemilik. Keduanya berteriak bergantian, sementara sang kakek baru saja terlelap karena jumlah kantuk dimatanya melebihi dari jumlah umurnya.  
“Ibu, bapak, minta jambunya dong?” si anak berambut ikal bertubuh lebih gelap berteriak.
“Ambilah!” sahut anak satu lagi, rambut lurus, belah pinggir, tubuh gempal dan juga berkulit agak gelap. Keduanya bau sangit, seperti terbakar matahari.
Kebetulan hari itu sepi, dan mereka merasa beruntung karena rumah itu juga sepi, barangkali pemiliknya sedang pergi keluar. Kemudian keduanya beraksi, melempari jambu-jambu hingga berjatuhan ke jalan. Dapatlah keduanya makan buah jambu yang baru matang setengah, sebagian kecil ada juga yang telah matang. Setelah mereka kumpulkan hampir terisi setengah kantung plastik berukuran besar. Lalu mereka melempari lagi, dasar sial batu yang mereka lempar mengenai jendela kaca milik Watseni. Prang! Terkejut keduanya menghadapi kenyataan itu, Watseni juga terjaga dari tidurnya mendengar keriuhan di luar.
Melihat Watseni keluar dari rumah berjalan mendekati pagar kedua pemulung itu kalap dan bergegas kabur membawa serta jambu di kantung plastik. Watseni hanya memperhatikan keduanya tengah berlari membawa sekantung jambu miliknya. Menemukan jendela kacanya pecah Watseni pun sedih hatinya. Ia berjanji akan memberikan sebagian besar jambu-jambu itu untuk ia berikan pada pemulung dan peminta-minta.
Dengan menggunakan plester ia mencoba menyambung potongan mozaik karya dua bocah pemulung tadi, walhasil kaca tersambung kembali dan berhasil menutupi rumahnya dari angin dan percikan air hujan. Lalu Watseni menengadah ke atas tempat jambu-jambu bergelayutan, menatap sedih pada buah-buah jambu itu telah membuat risau hatinya. Beberapa hari ini tidak seperti hari-hari biasanya buah jambu itu berbuah, tidak ada orang yang mengatai pelit, juga tidak memecahkan jendela kacanya. Ia terenyuh dalam angan-angan kesedihan. Biasanya ia dengan bangga membagi-bagikan jambu miliknya kepada tetangga, sanak keluarga, juga tamu-tamu dari mushala itu.
Keesokan harinya hujan turun dengan derasnya, diiringi gemuruh angin, dan angin yang berputar-putar benar-benar menjatuhkan buah-buah jambu yang belum sepenuhnya matang itu. Ukuran jambu-jambu milik Watseni memang berukuran lebih besar dari buah jambu yang dijual di pasar, dan berwarna merah lebih pekat semakin matang semakin merah kehitaman, Watseni tahu betul jambu miliknya ditanam dengan bibit unggul. Maka Watseni pun tahu ukuran dan warna jambu yang benar-benar matang, karena jambu itu sudah tumbuh selama 32 tahun menemani hidupnya. Watseni kembali sedih melihat runtuhnya jambu-jambu miliknya dikarenakan angin beliung. Sebagian berjatuhan di halamannya dan sebagian lainnya berjatuhan di jalanan di depan mushala, angin telah menjatuhkan hampir semuanya. Dari balik retak jendela wajah ketir bercampur sedih, Watseni menatap penuh keharuan melihat jambu-jambu itu, karena ia terlanjur berjanji untuk membagi-bagikan kepada anak-anak SD dan bocah pemulung tersebut.
Sedari pagi hujan tak jua berhenti. Menjelang Magrib hujan mulai mereda, sore itu sudah seperti malam karena dari pagi matahari tertutup mega, azan Ashar tak lama berselang dan waktu mendekati Magrib. Hujan benar-benar reda. Karena matanya sudah lamur sang kakek tidak menyegera membersihkan jambu yang ada di jalanan tetapi ia memunguti jambu-jambu yang masih layak dimakan yang ada di perkarangannya saja. Disaat itu juga ada tiga orang musafir ingin segera menunaikan shalat Ashar sebelum waktu benar-benar kasip, mereka singgah di mushala itu, menghentikan motornya dan memarkirkannya di depan mushala.
“Wah. Banyak sekali jambu air itu. Sayang sekali tidak segera di panen.” Kata salah satu musafir berbaju hitam sambil berjalan berjinjit memperhatikan langkahnya menghindari menginjak buah jambu itu. Mereka tak menyadari kalau sebelumnya telah terjadi badai yang mengakibatkan runtuhnya jambu-jambu itu dari batangnya.
“Wah wah wah. Iya nih. Padahal kan bisa dijual. Lumayan nih dapet dua karung lebih. Yah gak?” salah satu musafir lainnya berbaju putih menimpali perkataan temannya. Musafir satunya lagi yang berbaju biru hanya mengangguk dan senyum sinis. Watseni yang tengah memunguti jambu yang masih bagus mendengar percakapan itu. Watseni bertambah sedih mendengarnya, karena Watseni tidak pernah menjual jambu-jambunya, ia lebih baik membagikan kepada tetangga-tetangganya.
“Pasti dapat untung besar ini.” Kata lelaki baju hitam lagi.
“Mungkin orangnya kikir dan hatinya tidak baik, mangkanya jambunya rontok-rontok. Tuh liat aja! Jambu-jambu banyak ulatnya dan busuk.” Timpal si baju putih, temannya yang baju biru sedari tadi diam saja hanya mengangguk-angguk dan senyum sinis. Ketiganya berjalan berhati-hati menuju pagar mushala. Sementara Watseni tak kuasa membendung air matanya, perlahan mengalir di pipinya yang sudah keriput.
Betapa terpukul perasaannya, runtuhlah imannya, karena ia tahu setiap saat ia hendak menebang pohon jambu ini maka setiap itu pula lah bunga jambu bermunculan, maka tak tega lah Watseni untuk menebangnya. Dan setiap saat itu pula lah jambu-jambu ranum bermunculan di dahan-dahannya. Seperti tidak mau ditebang, batang jambu itu selalu memberi Watseni buahnya yang terbaik, dan setiap tiga bulan sekali selalu saja berbuah tanpa henti. Tak ada sedikit pun Watseni berniat membiarkan jambunya busuk atau mubazir tak termakan, apalagi untuk menjualnya. Mengapa orang-orang telah menghukumnya dengan perkataan yang menyakitkan hatinya.
Ketiga musafir itu berjalan sangat berhati-hati. Tetapi saat mereka hampir mendekati pintu pagar mushala, kaki musafir berbaju putih terpeleset oleh jambu-jambu itu dan menimpa kedua temannya. Ketiganya jatuh di antara jambu-jambu itu dan mengakibatkan baju mereka kotor dan terkena air jambu membuat noda-noda merah melekat pada pakaian mereka. Ketiganya memaki-maki jambu itu dan perkataan kotor keluar dari mulut mereka.
Tetapi dari balik batang jambu itu, Watseni menahan mulutnya agar suara tawanya tidak terdengar. Bahunya naik turun, perutnya berguncang, Watseni pun girang. Lalu menatap pohon jambu itu dari bawah sampai atas. Mereka berdua seperti satu sama lain dengan bahasa sunyi keduanya berdialogh. Putik-putik putih berjatuhan perlahan menerpa wajah Watseni. Watseni tersenyum melihat putik putih itu, ia mengerti. Yang berjatuhan adalah buah-buah yang besar. Sementara calon buah dan buah yang masih kecil-kecil belum berjatuhan bahkan bertahan di dahan lebih kuat menghadapi angin kencang tadi pagi. Mereka adalah calon buah berikutnya. Watseni pun kembali ke dalam rumah dengan tersenyum. 
ahay.... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar