Minggu, 10 Juli 2011

(Hahay Story 053) OJEK SETAN


Togar orang yang baru sampai di Jakarta. Setibanya di terminal ia dijemput opung untuk menginap dirumahnya. Bosan terus-terusan di rumah, ia bermaksud main ke rumah temannya yang ada di Jakarta, sama opungnya ia diberi bekal dan ongkos. Lalu opung pun memberikan petunjuk menuju alamat yang dicari.
“Dari sini kau naek bus nomor sekian, lalu berhenti di tempat ini, kau liat ada gedung AO, kau turunlah di situ. Setelah itu kau naek angkot nomor sekian pulak. Habiz itu kau turun disana. Di depan gedung terkenal AU, kau turun pulak disitu. Dari situ kau jalan kaki sazalah. Sampainya kau di alamat itu.”
“Sudah sampai aku yah opung?”
“Yah belum, tapi kau tanya-tanya laaah. Ingat! Malu bertanya sesat dijalan.”
“Tanya siapa saja orang pazti tau yah opung.” Opung mengangguk yakin. Wajah si Togar penuh keraguan tapi yakin juga mau pergi ke tempat temannya itu. Tekadnya telah bulat. Togar tersenyum.
“Oh ya Togar, kalau kau bingung-bingung, daripada kau tersesat, lebih baik kau naik ojek aja. Ojek di Jakarta 24 jam tersedia.” Wajah Togar sumringah, mengangguk penuh percaya diri.
Keesokan harinya, Togar siap berangkat dengan sebuah catatan instruksi yang diberikan opung. Harus naik apa dan turunnya dimana. Instruksi pertama naik bus nomor sekian dan turun didepan gedung AO. Maka naiklah Togar kedalam bus dan duduk disebelah ibu-ibu yang memakai parfum tebal sehingga menusuk hidung Togar. Duduk di dekat pintu biar bisa melihat keluar kaca jendela, sebelum membayar kepada kenek ia berpesan agar diturunkan di depan gedung AO. Perjalanan ternyata macet panjang, perjalanan masih jauh dan melelahkan, Togar merasa belum sampai-sampai juga ke tujuan.
Baru 15 menit di dalam bus Togar mulai panik. Ia teringat pesan opungnya agar jangan malu bertanya supaya tak sesat di jalan. Bertanyalah Togar pada ibu yang berbau pewangi buatan luar negri. Ibu itu mulai tak kuasa menahan kantuknya tapi berusaha menjawab pertanyaan Togar. Katanya, “Masih jauh nak.” Togar tenang kembali. Sepuluh menit kemudian tak jua ia sampai ke tujuan. Lalu Togar membangunkan ibu itu yang sudah tenggelam dalam lelapnya. Dengan nada kesal si ibu menjawab, “Ahhh masih jauh tau! Orang baru yah!” Togar terdiam mendengar hardik si ibu yang setelah itu kembali tidur.
Sepuluh menit kemudian ia tak jua sampai ke tujuan. Melihat ibu itu tengah mendengkur Togar mengurungkan niatnya bertanya pada si ibu. “Cilaka! Itu sama saja membangunkan macan sedang tidur,” fikirnya. Ia menghampiri kenek yang sedang berdiri di pintu dan sedang menghitung uang, lalu Togar menanyakan perihal mengapa ia tak kunjung sampai ke tujuan.
“Ohhh elu mau kesono. Yah udah berdiri disini aja, bentar lagi juga nyampe.” Kata si kenek dan menyediakan tempat Togar untuk berdiri.
“Sudah dekat ya bang?” tanya Togar penuh kekhawatiran.
“Paling-paling dua belokan lagi, tunggu aja.” Setelah mendengar itu Togar lega.  
Setelah berdiri 20 menit Togar tak kuat lagi tapi tak juga sampai. Otaknya Togar penuh rasa heran. “Bang, katanya dua belokan lagi. Tadi aku hitung sudah enam belokan belum juga sampai?”
“Ya dua belokan. Belok kanan dan belok kiri.” Jawab kenek seenak udelnya. Togar dengan muka kesal tapi tak berani marah sama abang kenek yang badannya lebih besar dari dirinya.
10 menit kemudian akhirnya Togar sampai juga. Dengan dengkul yang gemetaran Togar turun dari bus, seharusnya ia bisa enak-enakan duduk di jok di bawah AC, eh malah ia berdiri di dekat pintu. Dengan perasaan penuh kesal ia turun dan menghentikan angkot nomor sekian dan nantinya berhenti di depan gedung AU, begitu petunjuk opungnya. Di dalam angkot yang tak ber AC didalamnya banyak cewek-cewek seumuran dengannya, yang bekerja di swalayan sebagai pramuniaga. Mereka bercanda saling menggoda satu dan lainnya. Togar cengengesan mendengarkan candaan mereka. Tahu-tahunya Togar kelewatan, kata supir angkotnya sudah kelewatan beberapa menit yang lalu. Togar pun turun disitu dengan wajah ketar-ketir takut tersesat di kota besar ini.
Berdiri di pinggir jalan Togar celingak-celinguk mencari nama jalan tapi tak satu pun alamat yang dituju ia temukan. Akhirnya ia ingat pesan opungnya, daripada tersesat lebih baik naik ojek saja. Dengan wajah mendapat pencerahan Togar pun mencari tukang ojek. Setelah berjalan ke pangkalan ojek, sekitar sepuluh menit berjalan kaki di bawah terik matahari Togar pun akhirnya menemukan pangkalan tukang ojek. Badannya penuh peluh, ia dahaga sekali, kemudian membeli air mineral untuk membuang dahaganya. Setelah itu ia memperhatikan satu per satu tukang ojek yang sedang mangkal, Togar memilah milih orang mana yang cocok dengan hatinya yang akan menghantarkan ke alamat. Togar memutuskan bapak-bapak yang paruh baya yang menjadi tukang ojeknya. Fikirnya, orang yang sudah tua tidak akan membohonginya. Ia menghampirinya.
“Pak tau alamat ini?” Togar menyodorkan alamat yang ada di kertas kepada bapak tua itu. Bapak tua itu menjauhkan dari matanya dan mengernyitkan dahi sambil membaca. Matanya yang mulai lamur membaca dengan seksama.
“Oh ya. Bapak tau. Emangnya ada apa nak?” setelah membacanya pak tua tukang ojek balik bertanya. Wajah Togar sumringah.
“Oh ya? Oke deh pak, hantarkan saya ke alamat itu. Ongkosnya berapa?”
“Ya sudah dua puluh ribu aja.” Togar yang gantian kernyitkan dahi uangnya hanya tinggal sedikit, setelah hitung-hitung buat ongkos pulang ternyata tidak cukup. Akhirnya Togar menawar.
“Sepuluh ribu aja deh pak?”
“Ya udah naek.” Jawab bapak tukang ojek cepat. Tanpa ada proses banding lagi bapak itu menyetujui. Togar merasa menang bisa menawar dan memotong separuh harga ongkos ojek, begitu mudahnya tawar-menawar harga di kota besar seperti Jakarta, ibukota tercinta ini. Dengan tersenyum cerah Togar langsung naek ke motor bebek tua milik tukang ojek.
Dengan berusaha duduk nyaman Togar siap meluncur. Bapak tua mengemudikan motornya dengan hati-hati, hanya dengan kecepatan 20 km/jam. Fikirnya, betapa sopannya tukang ojek disini, jalan penuh kehati-hatian agar jangan kecebur ke kali. Meluncur membelok di prapatan yang berada di sebelah pangkalan ojek. Dari paraptan melewati sekitar empat rumah motor ojek pun berhenti.
“Kok berhenti pak?” Togar heran dan tetap duduk di jok belakang.
“Ini sudah sampai nak!”
“Hah?”
“Ya ini sudah sampai. Turunlah!”
“Haaaaah?” Tanya Togar lagi.
“He eh!” dengan setengah menghardik bapak tua menyuruhnya turun.
“Kalau tau dekat begini aku tak harus naek ojek pak?”
“Tapi kan tadi kau tanya, bisa menghantarkan ke alamat? Ya sudah bapak hantarkan.” Togar bergegas turun dari motor.
“Haaaaaaaaaaaaaaaah?” Togar menambahkan wajah kesalnya ke hadapan wajah bapak tua tukang ojek.
Dengan berat hati ia mengeluarkan uang sepuluh ribu dari saku celananya, Togar membayar ongkos ojeknya dengan rasa tidak ikhlas, dengan wajah penuh dendam. Kemudian bapak tua itu meluncur dengan kencang. Ternyata motornya bisa ngebut juga. Asap motornya yang tebal menyemprot ke muka Togar. Naiklah gondok Togar sampai ke tenggorokan. Dengan mengepal tinjunya dan penuh amarah Togar menjerit.
“Dasaaar Ojek Setaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnnn!”
Eh motor tua itu berhenti dan memutar kembali ke arah Togar. Lalu menghampirinya sembari pak tua itu berkata, “Ini Jakarta bung!”
Kemudian bapak tua itu menyalip, memutar motornya dengan kencang bak pembalap, asap hitam penuh timbal dan udara kotor mengebul ke udara. Togar diam ketakutan memeluk erat tas gendongnya.

 hahayayayay

Tidak ada komentar:

Posting Komentar