Rabu, 20 Juli 2011

Chapter 1 Sita Mencari Ayah - Menjadi Member Sebuah Petualangan


Aku sedang mencari sesorang yang bisa membantuku. Orang yang sama sekali berbeda cara memandang hidup ini, terlebih lagi mungkin sama dalam cara menerima nasib sebagai pesakitan. Seseorang yang tak harus sama berkarakter seperti aku. Ini hanya fikiran orangtua beranak dua seperti aku ini mungkin hanyalah sebuah lelucon hidup. Tapi inilah yang akan aku lakukan saat-saat terakhir sebelum kematianku. Aku butuh bantuan seorang yang ahli. Ahli tentang kematian dan kehidupan.
Aku memulai pencarian, kebetulan dan pembetulan, juga mencari kebenaran dan pembenaran. Semuanya, baik itu dari orang-orang yang ku anggap berjalan dalam hikmat, ataupun yang berjalan dalam kebetulan dan kebenaran. Semua ahli dari berbagai ahli. Aku akan baca bukunya, tesisnya, aku akan dengar ucapannya, tegurannya dan caciannya. Aku sudah siap.
-o-
(Petualangan hari pertama)

Setelah mencari-cari dari berbagai sumber aku telah membuat list untuk aku datangi dan bahkan aku sediakan waktu ku untuk sesi tanya jawab. Semua persiapan telah lengkap. Bahkan aku merasa dikejar waktu, semakin hari semakin kasip saja, bahkan kematian yang aku takuti sudah tidak aku takutkan lagi.
Hari ini aku mendatangi seorang pembaca nasib atau bisa disebutkan sebagai peramal masa depan. Saat ini aku sanggup membunuh mereka dan sanggup membawa mereka mati bersama, jika tidak menceritakan masa depanku atau nasibku dengan memberikan jalan keluar yang terindah buatku, anakku dan istriku. Walhasil yang aku dapat malah mereka menyumpahi kematianku bisa datang lebih cepat jika mempercayai peramal gadungan, atau aku yang tidak mengerti ramalannya. Masak ia bisa-bisanya meramalkan kematianku bakal tragis dan menyakitkan. Aku memang telah salah mendatangi dia.
Tak butuh waktu lama aku terus bergerak mencari ahli yang lain. Terbayang olehku, akhir-akhir ini, betapa seringnya aku menghabiskan waktu dengan menatap kosong keluar jendela kaca rumahku. Terkadang aku tenggelam menatap foto-foto dalam layar komputerku, tentang liburanku, kelahiran anak-anakku, rumah baruku yang kecil, atau apa saja. Terkadang aku melamun saat istriku tengah bercerita tentang anakku yang terkecil telah tumbuh menggemaskan. Aku terus melaju diatas roda motor otomatik.
Anak-anak belum mengetahui ayah sedang sekarat dan istriku sedang teramat sayangnya pada kami, hari-hari sarat dengan senyuman manjanya. Yang mereka tahu aku harus pulang kerja rutin setiap harinya memenuhi kewajiban sebagai ayahnya, yaitu memberikan rasa aman dan nyaman, dan itu telah menerima hatiku yang damai ini membuat mereka bahagia. Begitu juga menemui istriku yang lelah siangnya menjadi ibu mereka lalu tengah malam tidur dengan mendengkur sambil membalikkan badannya.
Dan rutinitas sejak si bungsu lahir yaitu bercerita atau mendongeng sebelum tidurnya di temani kakaknya yang ikut-ikutan mendengarkan. Kedua putriku tidur sekamar, karena rumah kami hanya ada dua kamar tidur saja. Satu kamar buatku dan istri, satu kamar lagi buat kedua putriku ini. Aku baru berniat akan membangun lantai dua. Akan aku bangun kamar satu lagi di lantai atas dan satu tempat lagi untuk cuci jemur. Tapi niat itu aku kubur dalam-dalam. Aku merasakan ada setetes air dingin mengalir di kedua pipiku, aku menekan gas dalam-dalam dan ngebut.
Melakukan kehidupan sehari-hari dengan rutinitas yang selalu sama, memang tidak ada yang salah. Menikmati pagi harinya. Mengamati istriku yang selalu gragas setiap pagi, setiap pagi selalu membangunkan si sulung bersiap ke sekolah, berbeda dengan si bungsu yang bisa bangun sendiri tepat waktu. Istriku selalu terburu-buru dalam rutinitas bangun pagi, hanya untuk menyiapkan sarapan pagi dan persiapan anak sekolah. Juga anak-anakku selalu memperlakukan ibunya seperti jam waker yang siap membangunkan mereka, disiplin sekali anak-anakku memperlakukan ibunya. Istriku tampak tidak ada lelahnya dan dibayar dengan respek baik dari anak-anaknya dengan menciumi ibunya sebelum berangkat sekolah. Begitulah keindahan bangun pagi, rutinitas yang sama sebelum aku berangkat kerja. Semua itu seperti memutar kaset video yang ada di kepalaku ini.
Aku menarik nafas sedalam mungkin, ingin sekali aku merasakan bahwa aku akan mengakhiri hidupku ini dengan penuh rasa bahagia. Aku benar-benar butuh seorang ahli yang bisa membantu membuat sebuah proyek gila tentang cerita-cerita yang bukan dongeng semata. Terbayang wajah putri bungsuku, Sita, selalu saja memaksaku mendengarkannya cerita yang aku bacakan atau aku ceritakan langsung tuk menemaninya tidur. Tiba-tiba aku merasa terinspirasi dari kemauan putri bungsuku ini. Ahaa! Aku ingin selalu, senantiasa menceritakan dongeng sebelum tidur untuknnya.
Aku ingin menceritakan kisah-kisah apa saja, dan mendongengkan apa saja, yang banyak, sebanyak-banyaknya khusus buat putri bungsuku ini. Aku ingin merekam hari-hari terakhir di dunia ini. Aku ingin menulis atau menyadur cerita penyemangat tentang kehidupan diriku sebagai ayahnya. Akan aku buat agar anak bungsuku ini selalu dapat mendengarkan cerita ayahnya sebelum ia tidur.
Aku yang sejak dulu selalu bersedia menceritakan banyak cerita dongeng maupun kisah pribadiku sendiri, untuk kuceritakan padanya sebelum ia tidur. Sampai sekarang usianya sudah sembilan tahun pun masih selalu ingin ayahnya menceritakan kisah sebelum ia menjelang tidurnya. Proyek ini mungkin tidak bisa aku lakukan sendiri aku butuh bantuan seorang yang bisa mengerti mauku. Aku mencerahkan fikiranku sendiri untuk mengakhiri hidupku dengan indah buat anak-anakku.
-o-

Seperti mendapat hidayah dan petunjuk yang dicerahkan, aku mencari orang ini. Aku mencari seseorang yang menurut fikiranku dia ‘gila’, dia seorang penulis dan pers sebuah warta di kota ini. Disaat pertemuan pertamanya pada waktu lalu, aku mengetahui cara pandang hidup dan cara memeperlakukan aku dengan sangat diluar kenormalan orang hidup normal. “Orang ini mungkin bisa membantuku nantinya,” fikirku dan dalam hati bergumam terus menerus tentangnya. Aku harus mencarinya dan membutuhkan bantuannya sekarang, aku berputar haluan mengarah ke alamatnya.
Setibanya disana, mudah ditebak, rumahnya selalu terkunci tetapi dia ada di dalam. Aku menemuinya untuk membantu proyek terakhirku ini, aku juga harus mencari lasan yang tepat untuk membujuknya. Orang ini terasa kental kehidupan nyentriknya, paling malas bertemu matahari pagi, pasti dulunya keturunan Vampire, dan lebih suka mengurung diri di rumah.
Aku memilih seseorang yang memiliki cara memandang hidup yang baik dalam hal menjalani dan menerima nasib, bukan berarti pasrah dan nrimo ajah. Aku ingin mewariskan petualangan hidup ini sebagai hadiah pengganti diriku yang nantinya tidak bisa lagi menceritakan kisah-kisah sebelum bobo. Aku masih tetap terus menceritakan kisah-kisah hidup yang baik buatnya dengan cara yang berbeda, begitu proposalnya yang aku akan ajukan padanya. Aku sibuk menyusun kata rayuan agar proposal jebol dan disetujui.
Akhirnya aku yakin memilih dia bukan karena tidak ada pilihan lagi, padahal daftar yang aku buat sebelumnya masih panjang. Tetapi karena dia dapat menyadarkanku akan pentingnya rasa bersyukur dan terima kasih itu lah yang jadi pilihan. Juga karena aku merasa tidak punya waktu yang banyak, aku memilih dia karena orang yang selalu hidup simple. Aku juga memilih dia bukan karena hal duniawi yang menguntungkan tetapi semua karena kebahagiaan batin punyamu itu yang tidak aku miliki. Karena sesungguhnya aku tidak punya uang untuk membayarnya. Aku berharap ketulusan hatinya saja untuk menerima aku sebagai siswa yang magang.
Aku membulatkan hati, lalu mngetuk pintu keras-keras agar terdengar riuh sampai ke dalam kamarnya. Berselang lima belas menit tidak ada jawaban. Aku terus mencoba, pantang berpatah arang, terus mencoba, kali ini pakai musik dari tutup bak sampah. Tiba-tiba kaleng minuman melayang dan mendarat tepat di jidat. Klontang! “Aduh!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar