Sabtu, 02 Juli 2011

Chapter 1 Sita Mencari Ayah - Aku … Seseorang Yang Sekarat

Apakah perasaan anda jika anda divonis akan mengakhiri kesenangan, kebahagian, kebaikan-kebaikan, dan semua yang terlanjur anda miliki di dunia ini. Itu perasaan yang aku miliki sekarang dan untuk beberapa waktu kedepan. Tak seorang manusia pun bisa menghentikan ajalnya, begitu juga aku.
Kematian yang baik itu datang kapan saja. Aku mengakuinya sebagai kematian yang baik. Pada saat-saat tubuh merasa masih segar bugar dan berfikir masih akan berumur panjang tiba-tiba becak menyenggol anda membuat anda terjatuh ke sisi jalan, lalu mobil yang berlari kencang mencium pipi anda, lalu mati. Atau pada saat menikmati momen berenang-renang di tepi pantai bersama keluarga, menikmati senyum anak istri anda, entah dari mana anda tertusuk duri ikan yang berbisa, tanpa bisa tertolong lalu mati. Atau saat tengah mengejar bola dan akan mencetak gol, anda terkena serangan jantung, terjatuh lalu mati. Atau sedang mencoba-coba memperbaiki sendiri AC yang sudah jelek, lalu anda tersetrum dan mati. Atau disaat anda tengah mengantuk diatas bangku salah satu stasiun kereta karena melamunkan nasib yang tak membaik, datang angin semilir anda tertidur pulas, tiba-tiba asma anda kumat, mati juga, walaupun saat itu sedang enak-enaknya mimpi jadi orang terkaya.
Aku hanya mencermati sebuah prediksi dari seorang ahli penyakit dalam. Aku hanya duduk terpaku mendengar penjelasannya. Bahkan aku tak melakukan perlawanan baik secara ilmiah, ilmu kedokteran, ilmu gaib, atau pun perlawanan secara mental. Aku hanya mengiyakan saja dan mengakui bahwa selama akhir-akhir ini aku memang dalam keadaan tidak sehat, secara badaniah iya, tetapi bukan secara rohaniah. Yang tersisa memang spirit dan cel-cel otakku yang sedang berfikir waras, yang lainnya mulai mengalami penurunan aktifitasnya. Sejak penurunan kemampuan tubuhku ini, aku menyesal ke rumah sakit, karena begini jadinya. Aku bakal mati dalam waktu yang telah ditentukan.
Profesi Dokter terkadang buatku kagum karena kehebatannya bisa menyembuhkan penyakit. Tetapi juga aku kagumi karena profesi yang dengan mudah bisa membunuh semangat hidup orang atau bahkan membunuh nasib orang yang masih hidup. Aku ingin sekali memukul mulutnya yang berani memfonis sisa hidupku hanya tinggal sekian. Tetapi aku takut sekali nanti jumlah waktuku nanti berubah tambah pendek olehnya. Aku benar-benar belum siap untuk mati. Aku dan dokter berjanji untuk merahasiakan ini dari keluargaku dan semua orang yang aku kasihi. Masalah ini adalah hak untukku menyimpannya erat-erat.
Disaat pulang dari rumah sakit mengemudi kendaraan roda dua punyaku, aku masih menerawang jauh. Dilemma hidup mati, aku memutuskan untuk tidak pulang ke kantor lagi dan cabut melalang ke wahana kota. Perut gendutku terasa lapar, aku acuhkan saja dan terus saja berputar-putar mengelilingi kota. Akhirnya aku memutuskan untuk ke pantai saja. Karena jarak pandang bisa lebih jauh memandang bila aku menghadap laut.
Menjelang kematian seseorang berhak mempertanyakan dirinya sendiri. Bahkan sebelum orang lain mempertanyakannya. Baik itu disaat aku masih hidup atau yang lebih buruk lagi sesudah aku mati. Orang-orang akan menggunjingkan keburukan-keburukan hidup yang aku jalani. Atau apakah orang akan menghargai kematian aku dengan menghadiri pemakamanku sambil tersenyum dalam tangisan haru. Memang ajal seseorang tidak dapat di ukur secara ilmu manusia, tapi dapat di prediksi waktunya. Sekarang ajalku sudah terukur oleh waktu sesuai prediksi penyakit yang aku alami.
Sesampainya aku di tepi pantai aku menghentikan roda motor. Aku coba menikmati indahnya pantai dan pandangan yang ada di depan mataku ini saja. Aku berjalan di atas pasir tanpa sepatu dan coba berteduh pada sebatang nyiur yang tengah berbuah kelapa masih muda-muda. Aku melihatnya, buahnya masih muda pasti airnya segar bila di beri gula jawa dan beberapa potong es. Aku melepaskan pandanganku ke laut lepas, ombaknya menghempas pantai, berulang-ulang. Selalu begitu, mungkin sejak dari dulu sudah begitu. Aku tersenyum kecut, dan meletakkan sepatuku disamping nyiur tersebut.
Aku duduk di pasir lalu bersandar ke batang nyiur tersebut, membayangkan wajah istriku yang cantik dan anakku yang satu beranjak remaja, satu lagi tengah menuju dewasa. Sudah mulai berdandan mengikuti petunjuk ibunya, begini begitu. Aku tersenyum kecut lagi. Terbayang pula saat pertama merasakan betapa bahagianya hadir si buah hati. Mengakui memang istriku cantik sekali, kecantikannya menular ke kedua anak kami. Mataku mulai berkaca-kaca, angin pantai yang kering dan mengandung garam membuat mataku tambah berair. Mengalir air bening di pipiku, segera aku hapus dengan tanganku.
Setelah sekian lama aku menikmati semua yang sudah aku dapatkan di hidup ini, aku mulai menyadarinya semua akan berakhir. Aku tak mempertanyakan keajaiban Tuhan untuk memperpanjang umurku. Aku telah mengetahui betapa banyak yang telah pergi dan kalah melawan penyakit ini. Sekarang aku harus siap menerimanya bukan berarti aku menyerah. Aku hanya cukup menghabiskan sisa hidupku saja.
Aku mulai menerawang jauh, lebih jauh lagi, pada waktu sebelum seperti sekarang ini. Saat aku mengejar apa yang aku anggap itu sebagai kebahagian hidup dan kebaikan dari Tuhan untukku sebagai orang yang bergumul di dunia ini bersama dengan yang lainnya. Sama seperti yang lainnya, aku mempunyai kesalahan masa lalu, yang ingin aku lakukan saat ini adalah memperbaikinya. Atau sesuatu yang belum sempat aku lakukan tetapi telah aku janjikan. Keinginan istri dan anak-anakku.
Kenyataan itu memang terkadang membuat sesuatu luka dihati, sesuatu terhianati, sesuatu teringkari, sesuatu atas pembenaran orang yang diyakini lalu kita tercurangi dengan sesuatu yang kita anggap salah. Aku merasa terjebak dalam perasaan terlukai karena harus mati dalam waktu yang telah di tentukan. Di usiaku yang masih produktif dan mungkin masih bisa banyak yang aku lakukan. Tapi aku dipaksa harus puas dengan semua yang aku dapat sekarang ini. Aku hanya berfikir, bagaimana cara membagi kebahagiaan pada saat-saat terakhir ini saja.
Tampak dikejauhan dua anak pantai tengah asyik mencoba menaikkan layang-layang. Aku mendekatinya dan memperhatikan kedua anak itu, tak putus asa terus mencoba menaikkannya. Aku menawarkan diri untuk mencoba menaikkannya dan mengajarinya cara menaikkannya. Kami berhasil. Betapa senangnya anak-anak itu merasakan bisa menaikkan layang-layangnya, terasa seperti dulu untuk pertama kalinya aku berhasil menaikkannya. Layang-layang itu menari-nari di langit membelah udara.
Kepuasan melakukan sesuatu yang baru memang mengasyikkan, begitu kata orang yang berhasil melakukan hal-hal perdana dalam hidupnya. Untuk mengulanginya aku tak akan merasakan hal yang sama dengan perasaan saat perdana aku melakukannya dulu. Tapi kalau ingin merasakannya hal itu masih menarik dan mengasyikan sama seperti dulu itu maka cobalah rasakan dari perasaan orang lain. Aku membantunya untuk melakukannya hal itu sesuai dengan cara aku melakukannya pertama kali. Paling tidak aku ikut merasakannya, seperti saat dulu aku merasakan hal itu.
Alangkah indahnya perasaan itu. Tiba-tiba perasanku menjadi damai. Aku merasakan semangat indah itu timbul kembali. Atas dasar hal itulah aku ingin melakukan sesuatu yang dulu pernah aku lakukan dan berhasil. Aku juga ingin seseorang juga dapat merasakannya seperti apa yang aku rasakan dan perasaan itu dapat terulang kembali saat aku melakukannya bersama-sama seseorang lainnya. Atau paling tidak ada yang menggantikan aku untuk melakukannya. Ide yang cemerlang. Aku bergegas pulang ke rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar