Selasa, 14 Februari 2012

BANGGAKAN SAJA AYAHMU

     Demi sebuah masa lalu, pasti semua anak mempunyai kenangan tentang ayahnya. Tetapi aku tidak memiliki banyak peringatan tentangnya, paling-paling hanya tiga atau empat momen berharga yang dapat aku kenang pasti. Kehidupan masa kecil itu memang aku ingat semua (tapi ternyata tidak, hanya yang dapat terkenang jika memiliki momen tertentu yang berharga untuk diingat, selebihnya terlupakan), bahwa aku memiliki seorang ayah yang humoris dan berwibawa di mata teman-temannya. Beliau fasih bermain gitar, bas betot, bernyanyi, bahkan jaipongan. Aku kenal jurus jaipong ayah yang jitu kalau sedang mengolok-olok ibu ku yang ngomeeeeel seharian. Atau kalau kesal nonton Dunia Dalam Berita beliau goal-goel di depan layar kaca menutupi pandangan kami semua (anak-anaknya) yang sedang menonton, itu artinya kita disuruh lekas masuk kamar dan tidur (sudah malam, bobo’ sana!).
     Aku akan menceritakan satu saja buat kalian, tentang cerita Ayahku yang juga sebagai Paman, Kakek dan Eyang Uyut kalian. Saat itu aku berumur sembilan tahun dan pekerjaan beliau waktu itu adalah Satuan Petugas Keamanan (Satpam) pada sebuah kilang minyak. Tapi tugasnya bukan hanya menjaga kilang saja, beliau menjaga semua sarana dan perumahan milik perusahaan minyak tersebut, sampai jauh ke perbatasan dengan dusun tetangga. Kota ku saat itu masih kota administratif sebelum jadi kota madya. Belum lagi jabatan kepala kompleks khusus Satpam dan juga sebagai kepala blangwir – “camp fire” (karena saat itu beliau merangkap-rangkap jabatan, dan saat itu belum semua orang ahli dalam bidang tersebut). Maklum beliau adalah sebagai veteran AD (tentara) di bagian seni tempur maka dipercayakanlah merangkap-rangkap jabatan tersebut.

 
     Malam itu kebetulan ayah mengajakku dan adikku satu-satunya naik jip dengan bak terbuka di belakangnya, ada satu buah sekop lipat, dua biji gerigen minyak isi 25 liter, dan seutas tali laso dari serabut kelapa yang aku tak tau kira-kira berapa panjangnya. Malam sudah larut, hampir jam setengah 11 malam, tapi aku diajak untuk menemani beliau dan ibuku mengijinkan kami. Dengan mengendarai jip kami diajak berpatroli berkeliling kompleks sampai ke perbatasan dengan kampung sebelah. Waktu itu hutan masih lebat, bahkan ada harimau (datuk atau si belang) yang suka masuk kedalam kompleks. Setelah mengecek semua pagar dan pintu portal jalan keluar-masuk kompleks, maka ini adalah pintu portal yang terakhir. Di luarnya ada warung minum-minum, kami singgah sebentar disana.
     Waktu menunjukan pukul 12 kurang. Kami masuk ke dalam warung lalu duduk sebaris di bangku panjang dari papan. Dalam warung berdindingkan susunan papan dan beralas tanah padat, tersusun dua meja panjang  bersaff dan satu meja kecil yang jadi imamnya tempat kasir. Di dindingnya tersusun minuman seperti rak, ada soda, limun, dan jamu dalam botol-botol bekas sirup beraneka ragam (termasuk anggur dan angker bir). Ayah memesankan dua susu soda untuk ku dan adik. Sementara ayah sendiri membeli segelas kopi susu dan sebotol anggur (berlambang orang tua berjanggut putih panjang) untuk dibawa pulang. Beliau berbincang-bincang dengan temannya yang juga veteran perang berambut cepak. Mereka tertawa penuh kelakar. Aku tersenyum memperhatikan. Setelah susu soda habis adikku merajuk minta pulang. Ayah menggembok portal dan kemudian mengemudikan mobil jip itu mengajak kami pulang.
     Sesampainya di rumah ternyata ibu sudah menunggu kedatangan kami. Kami duduk di ruang makan sebelah dapur. Ayah membuka botol anggur yang dibelinya lalu menuangkan kedalam 2 gelas kecil dan mengisinya setengah, kemudian diberikan kepadaku dan satunya diminum sendiri, karena (mungkin) adikku masih kecil beliau tidak memberinya. Belum sempat aku meneguknya tiba-tiba suara ibu menghardik, “Jangan kasih minuman itu nanti anakmu mabuk!” Aku terkejut, apa ini minuman memabukkan, atau sejenisnya. Lalu ayahku menjelaskan pada ibuku, “Gak apa-apa kok bu, ini biar dia enggak masuk angin.” Ibuku menggangguk saja mendengar penjelasan ayah. Setahuku (sejauh yang aku kenal) ayahku bukan seorang pemabuk, tetapi dia perokok berat.
     Setelah meneguknya memang terasa hangat sekujur tubuhku. Sementara adikku sudah tertidur di paha ayah. Malam itu ayah berwejangan buat diriku, “Kamu kalau mau nakal ingat umur! Kalau bisa jangan nakal, kalau mau nakal juga, yah nakal lah sewaktu muda, kalau sudah tua jangan nakal lagi...” dan seterusnya yang aku pun sudah tak ingat lagi, keburu ngantuk. 

 
     Nah pesan itulah yang masih ku ingat sampai sekarang ini. Memang sepanjang aku hidup tidak pernah memikirkan apa maksud dan tujuan ayah mengatakan itu. Apa karena efek minuman anggur? Aku rasa juga bukan. Karena ayah bukan pemabuk tapi menangkap orang mabuk sih sering. Setelah dewasa aku baru tau kalau minuman anggur itu memang memabukkan, tapi jamu tolak angin pun bisa memabukkan jika meminumnya berlebihan (jamu tolak angin ukuran satu sachet jika dituang penuh kedalam gelas besar lalu diteguk habis, pasti memabukkan, dada terasa panas, otak mulai limbung hilang kesimbangan). Berarti saat beliau mengatakan perihal itu beliau sedang tidak mabuk.
     Dan selama aku kecil dan tumbuh dewasa memang banyak kenakalan yang sudah aku perbuat. Dan dimana suatu saat adalah titik aku memahami kata yang diwasiatkan untukku itu, di saat itu aku harus akui wasiat itu adalah benar adanya. Aku harus berhenti menjadi anak-anak atau orang muda yang nakal. Saat menjadi orang mulai mengerti umur aku harus menjadi panutan, berarti aku harus berhenti nakal. Aku tahu ayahku perokok berat, maka aku tak mau mengikutinya agar yang manut dan mengikuti panutanku bisa memilih mana yang baik, mana pula yang nakal.
     Ayahku memang tidak banyak memberi nasehat kepada ku. Bukan karena beliau pelit nasehat tetapi beliau keburu wafat. Jadi memang tak banyak yang ku dapat langsung dari ajaran beliau. Lalu aku mencari tau siapa dan bagaimana sebenarnya ayahku. Selama pencarian itu memang ada juga nada sumbang dari teman-teman beliau yang membuat aku menangis, tetapi yang membuat aku bangga dan membahagiakan adalah jasa dan amal baik ayahku justru lebih buaaanyaak dibanding nada sumbangnya.
     Seperti halnya ayah ku, ada seorang guru yang cukup berkenan buatku untuk mencari jati diri ayah ku. Beliau adalah Husni Thamrin, seorang guru Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sewaktu aku duduk di kelas lima dan enam. Saat aku menduduki kelas enam aku mulai jarang berinteraksi dengan ayah dikarenakan ayah mulai sakit-sakitan dan banyak menghabiskan sisa waktunya di rumah sakit. Pak Hussni itu mengajarkan ilmu alam dengan caranya sendiri, yakni memberikan selingan dongeng disela-sela pengajaran ilmu alam yang dikuasainya.       Menurutnya ilmu alam adalah ilmu yang menceritakan alam. Dan selalu menceritakan tentang betapa hebatnya menjadi seorang anak alam yaitu anak laki-laki kecil, anak dewasa atau juga menjadi ayah. Cerita dan dongeng yang beliau ceritakan kepada kami adalah cerita yang ia karang-karang sendiri atau dari buku bacaan yang beliau baca. Tetapi itu sangat menginspirasikanku tentang pencarian sosok ayah.

 
     Jangan bayangkan beliau seperti MH Thamrin yang pahlawan itu, tetapi beliau hanya seorang guru yang bersahaja, tak pernah memberikan kami ulangan. Hanya saja kalau tidak bisa menjawab pertanyaan beliau hukumannya adalah memunguti sampah di sekitar kelas dan ruang guru. Aku sering mengacungkan tangan hanya ingin menjawab benar pertanyaan beliau tetapi selalu saja aku yang kebagian memunguti sampah. Karena ilmu alam maka alam sekitar kita harus bersih dulu baru bisa mengerti apa itu ilmu alam sebenarnya. Benar-benar jitu.
     Kedua sosok ini saling berkaitan, disaat aku mulai kurang berinteraksi lagi dengan ayah dikarenakan sakit, entah mengapa Tuhan memberikan aku sosok lain seorang ayah dalam diri Husni Thamrin, guru penakluk alam. Sayang setelah aku menamatkan sekolah dasar aku harus berpisah dengan keduanya, ayahku wafat dan pak Husni tetap mengajar di SD sedangkan aku harus naik ke SMP. Tetapi perpisahan ini adalah awal pencarian ayahku, sosok ayah, dan ayah-ayah lainnya. Semakin aku mencari apa itu ayah semakin aku menemukan siapa diriku sebenarnya.
-o0o-
Kisahku, 15022012.
Diibaratkan sebuah telur. Masa yang sempurna itu hanyalah bagian kuning telur. Gabungan antara masa tua dan masa kecil adalah bahagian dari putih telur. Dan sianya adalah ruang udara diibaratkan sebagai bagian masa hampa (kekosongan hidup).
Usia sempurna manusia itu pendek walaupun umur dianggap panjang diantara makhluk lain ciptaanNya, sisanya hanyalah kehampaan dan kealpaan bahwa diri tumbuh menjadi anak-anak dan menua.

2 komentar:

  1. Bapakku Pahlawanku.macam lagunya Wali aja.hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ha ha ha ha, hanya memori tentang beliau saja, hanya sedikit...
      Berbahagialah yang punya banyak kenangan dengan ayah mereka

      Hapus