Selasa, 07 Juni 2011

(Hahay Story 049) MEMBERI DAN MENERIMA

Tiga orang yang terkenal akan kefakirannya, Kirman seorang sangat kikir, Bendot seorang sangat kedekut dan Pailut juga seorang yang sangat pelit. Ketiganya berteman dan seprofesi yakni sebagai pengemis. Tengah asyik berdandan ala kaum fakir, baju seragam untuk mengemis pun dikenakan, dari baju compang camping hingga obat merah pelengkap dandanan pura-pura luka atau korengan.
Setelah waktu subuh berlalu langit masih remang-remang gelap mereka berangkat. Jalan biasa yang dilewati menyeberang stasiun kereta lalu menyeberang kali, tempat tinggal mereka sulit dilacak dan tidak masuk peta kota, sulit disangka kalau ada orang yang sanggup hidup di rawa-rawa. Memilih rawa adalah karena tidak perlu bayar uang sewa dan bayar listrik. Rumah istri dan anak-anaknya di kampung jauh lebih asri dan sehat dibanding rumah gubuk mereka sekarang. Tempat yang terasing itu sulit tersentuh oleh penduduk lain
Ketiganya hidup penuh keegoisan, semua milik pribadi tidak boleh dipakai bersama, yah baju pakai baju sendiri, sabun mandi, odol, handuk sampai tikar tempat tidur pakai punyanya masing-masing. Namanya juga raja pedit bin kikir bin kedekut. Rezeki itu milik masing-masing fikirnya, karena kesamaan prinsip itulah mereka hidup rukun. Sampai MCK pun mereka bangun atas nama masing-masing, maklum rawa luas terbentang adalah WC terbaik buat mereka.
Seperti biasa ketiganya menyeberang sungai dengan getek bambu rakitan. Disaat mereka akan menyeberang, belum begitu jauh dari tepi sungai tapi sudah hampir setengah lebar sungai tersebut, Bendot dan Pailut terjebur ke dalam sungai berwarna butek. Byarrr. Air menenggelamkan sedalam leher mereka, tetapi keduanya tetap tenang dan keduanya kesulitan untuk naik kembali ke atas getek. Sementara Kirman hanya menjaga keseimbangan rakit agar dirinya tidak terjatuh atau getek terbalik. Kirman menatap kedua orang itu penuh ketenangan tanpa ekspresi apa pun. Setelah hampir satu jam Kirman menunggu kedua rekannya naik tapi masih tetap belum berhasil. Sampai akhirnya Kirman kesal.
“Berapa lama lagi aku harus menunggu kalian naik?” tanyanya dengan sopan.
“Tak bisa kau lihat kah diriku tengah berusaha.” Bendot menjelaskan.
“Lumpurnya terlalu kental sehingga menahan kaki ku dan seragam mengemis kami telah menyusahkan kami untuk bisa naik.” Pailut berusaha keras untuk keluar dari kesulitan.
“Berapa lama lagi yang aku tanya?” Kirman menunjukan kekesalannya.
“Ya ya ya, baiklah. Aku terpaksa memberi kau waktu satu jam lagi. Ingat! Ini terpaksa aku kasih!” Jawab Pailut ikut kesal atas sikap Kirman, sementara Bendot mengerlingkan matanya melihat sikap Pailut yang sanggup memberikan waktu dan melotot kepada Kirman yang sudah mendapatkan waktu tambahan.
Waktu berjalan terus, antara keringat dan basah air sungai tak bisa dibedakan. Setiap kali hampir bisa mencapai permukaan getek Bendot dan Pailut terjatuh lagi ke air. Kirman lelah menunggu lalu ia duduk sambil memegangi sebilah bambu menyeimbangi geteknya. Satu jam hampir habis, Bendot dan Pailut panik.
“Bisakah kau memberikan pertolongan buat kami?” Bendot memelas pada Kirman tetapi Kirman malah membuang muka. Matahari mulai bangkit, hari juga mulai panas.
“Berikan bambumu itu agar aku bisa naik!” Pinta Pailut panik. Kirman masih mempalingkan mukanya hanya menjawab ketus.
“Huh. Tidak mau.” Pailut dan Bendot mukanya sedih.
“Aku akan berikan penghasilan ngemis ku hari ini untuk mu sebagai tukaran, kalau kau mau memberikan bambumu itu. Plis?!?” Bujuk Pailut. Wajah Kirman cerah, secerah mentari pagi, lalu berdiri dan memberikan sebilah bambu penyeimbang getek itu pada Pailut.
“Berikan tanganmu biar aku bisa naik!” Hardik Bendot mulai naik pitam.
“Cih. Tidak mau!” Jawab Kirman, lagi-lagi ia membuang mukanya.
“Baik! Baik! Kau menang. Sekarang ambil tanganku dan angkat aku ke atas.” Kirman tersenyum.
“Sebagai upahnya?” Kirman cengengesan.
“Kau boleh ambil sabun mandiku dan juga odolku sebagai gantinya. Cepat ambil tanganku ini dan angkat.”
“Kurang!” Kirman tawar-menawar, memang ini yang ia tunggu sedari tadi.
“Baiklah. Ditambah makan siang dan makan malam nasi bungkus.” Tawaran paling tinggi dari Bendot.
“Dil.” Kirman menyetujui dan menarik tangan Bendot.
Sementara Pailut tengah berusaha naik dengan bantuan sebilah bambu. Karena keduanya berusaha naik dari sebelah kanan dan bambu penyeimbang tengah dipakai Pailut maka Kirman tidak lagi memikirkan keseimbangan getek. Walhasil getek terbalik dan melepaskan ikatannya membelah menjadi dua bagian. Sekarang ketiganya berada di air, dan Bendot benar-benar kesal, Pailut pun ikut murka. Tetapi Kirman gelagapan, panik karena dirinya tidak bisa berenang. Lalu Bendot menampar wajah Kirman agar dirinya tenang dan tidak berusaha menarik-narik baju kedua rekan seprofesinya tersebut. Plak!
“Tenanglah kau Kirman. Tak akan tenggelam kalau kau tenang. Air ini hanya selehermu saja.” Lalu Kirman berusaha tenang, dan benar saja air itu hanya selehernya saja.
Getek yang terbelah dua itu hanyut terbawa arus karena tak ada yang mengemudikannya lagi, sekarang ketiganya berada di air sungai tanpa pernah ada yang bisa menolongnya, tempat yang terpencil itu tak diketahui orang lain. Akhirnya Bendot dan Pailut memilih berenang ke tepi dan pulang. Tetapi bagaimana dengan Kirman yang tidak bisa berenang. Lalu Kirman menawarkan tawaran buat kedua temannya agar mau membawanya ke tepi sungai.
“Bagaimana kalau kau Pailut, aku kembalikan hasil mengemismu hari ini. Dan kau Bendot, tak usah belikan aku makan siang, makan malam, dan odol, sabun mandimu aku kembalikan. Asal kalian berdua bawa aku berenang ke tepi. Bagaimana? Setuju?” Kali ini berbalik, wajah Kirman yang memelas. Tetapi kedua rekannya lebih memilih berenang sendiri tanpa harus membawa Kirman.

 aHAhayya.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar