Selasa, 22 Maret 2011

Superwarno 6 (Nuansa V - Mencoba Menjalaninya Sendiri)


Semua pasti ingin menciptakan lingkungan yang baik.
Warisan akal baik untuk mereka yang melahirkan lingkungan yang tidak baik pun akan dihadapkan kembali ke arah kebaikan kembali.

Komponen hati selalu membicarakan kebaikan, tapi ketika sesorang hidup dalam imajinasinya sendiri, seperti seorang Super Warno, hidup sesuai dengan perilaku atau aturan yang dibentuknya sendiri sejak lahir. Ada kecendrungan yang meleset dari apa yang akan bersinggungan kehidupan orang banyak dengan imajinasinya. Entahlah. Karena aku masih berusaha menjadi temannya saja.
Contoh lainnya, seorang klepto mempunyai hasrat yang besar akan rasa memiliki barang yang menurut alam fikirannya itu indah. Tanpa mengindahkan kebenaran hak milik ataupun faedah barang-barang tersebut, hanya karena fikirannya untuk memiliki barang tersebut menutupi kaedah kebenaran. Begitu juga halnya rasa pengakuan atas hak cipta atau ide sesorang. Penyakit hati yang terselubungi.
Atau misalnya orang terbiasa di kehidupannya sebagai seorang pegawai tinggi, selalu menghendaki haknya terpenuhi bahkan memperiotaskan diri untuk menjadi posisi yang harus mendapatkan lebih dari atasan. Idealisme, kebiasaan yang sudah terbiasa di bentuk, atau imajinasi sesuatu yang indah di luar jangkauan kenyataannya, akan membuatnya selalu bersinggungan dengan realita lainnya. Optimistik atau keculasan.
Seperti juga halnya juga pada orang normal bekerja sebagai pegawai rendahan. Tiba-tiba saja dia dipecat tanpa memiliki persiapkan diri dengan keadaan tersebut. Tanpa persiapan apapun membuatnya terdesak, maka akan timbul keberanian dan kesadaran lainnya. Berontak atau menerima.
Sadar bahwa ada yang hidup dibawahnya, dalam kondisi kekurangan. Sadar bahwa hidup sulit. terbiasa menghargai sedikit karena hanya sedikit yang bisa didapatkannya setiap hari. Sadar butuh untuk menyimpannya atau mengurangi keborosan yang tidak penting. Maka keberanian yang timbul adalah mencoba irit, mengerem ketololan lainya yang sudah terbiasa. Berani menahan amarah, rasa benci, sakit hati, dan menghadapi kenyataan. Bahkan keberanian merubah jalan hidup. 
Hari ini aku terkesima menerima kenyataan bahwa Super Warno mengambil jurusan ekonomi di kampus lain. Sedangkan jurusan tekniknya di kampus ini hampir saja rampung. Apakah ini ambisi atau apa yah? Entahlah. Bukankah dia seharusnya memikirkan harus dikemanakan gelar yang dia dapatkan nantinya. Seperti sebuah tamparan keras buatku. Karena aku ini seniornya, kenapa aku belum juga diwisuda. Apalagi untuk menyusun skripsi, mata kuliah yang harus aku ulang saja masih banyak.
Apa dia ingin merubah tujuan hidupnya. Semudah itukah baginya menyelesaikan kuliah ini. Aku terpukul dan iri hati. Aku harus cari tahu rahasia kehebatannya. Aku ingin tahu langsung dari dosen kalkulus tentang kelulusannya pada mata kuliah ini. Atau bertanya pada dosen lainnya. Semua menjawab layak lulus. Aku menambah parah penyakit hatiku.
Sekali waktu sebagai senior aku mempunyai hak untuk mengatur yunior. Diktator itu milik orang yang memiliki kekuasaan sedikit berlebih. Aku mengunakan hak ku ini untuk sebuah rencana bodoh. Semua orang bisa saja menjadi diktator jika gila seperti aku. Dosen Mektek (Mekanika Tekhnik) saja bisa jadi diktator, jual diktat beli motor.
Mata kuliah kalkulus, terbayangkan oleh anda rumus-rumus dan jalan pencarian hasil suatu soal yang sulit dan ribet. Hari ini adalah ujian semester dan kebetulan aku satu kelas dengan Super Warno. Tempat duduk menentukan hasil ujian. Maka kami mengatur agar Super Warno duduk di tengah kami. Aku dan temanku meletakkan bangkunya agak mundur kebelakang agar mudah dicontek.
Rencana yang sempurna dan Super Warno yang tidak pernah mengatakan tidak bisa untuk seniornya. Maka kami membiarkan ia menyelesaikan dulu soalnya satu persatu. Lalu kami tinggal mengambil hasil dari jerih payahnya. Yang kami dapatkan memang hasilnya tapi tidak untuk uraian cara penyelesaian dengan rumus-rumus gila itu. Semuanya di isi dengan jawaban singkat yaitu angka hasil pemikirannya yang hanya dia yang tahu dan dosen itu.
Hasil ujian Super Warno mendapatkan nilai penuh sementara kami harus mengulang lagi semester berikutnya. Karena Super Warno dapat menjelaskan pada dosen tersebut cara mendapatkan hasil perhitungannya sementara kami tidak.
Banyak sekali moment bersama Super Warno yang tak bisa aku lupa. Dimana masih terbayang saat ia baru masuk ke kampus ini. Atau saat cewek idola kampus yang dengan mudah ia dekati. Saat  dikerubuti mahasiswa lainnya hanya untuk olok-olok menanyakan tanggal lahir neneknya jatuh pada hari apa dan hari pasaran Jawanya apa. Atau menguji kehebatannya menjawab akar persaamaan matematika yang rumit tanpa menggunakan kalkulator. Semua itu akan hilang. Super Warno akan meninggalkan kampus ini.
Wisuda. Kenyataannya dia wisuda, duluan, dan aku juga yang harus mempersiapkan upacara wisudanya. Aku juga dulu yang menyambutnya di kampus ini dan aku juga yang melepasnya. Aku terharu biru menerima keadaan ini. Tak kusangka ia memang hebat. Karena tak pernah sedikitpun ia mensia-siakan waktunya untuk belajar. Dan kedua orang tuanya yang hebat bisa mendidik orang seperti Super Warno penuh perbedaan dari orang normal.
Kedua orang tuanya menghantarkan dengan penuh bangga, walau kalau aku perhatikan wajah datarnya memang keturunan. Tinggi badannya juga semampai. Memang keturunannya, tubuh mereka kurus-kurus. Tapi otaknya cemerlang sehebat anaknya. Ir Warno. Gelar sarjana tekhnik, Insinyur. Membawakan hadiah untuk orangtuanya sebuah gelar yang jujur dan penuh dedikasi. Belum lagi gelar sarjana ekonomi yang nantinya bisa dia wujudkan.
Suatu malam di atas puncak gunung Merapi. Aku bersama teman sekampus berhasil naik ke atas ini hanya untuk menghantarkan kemenangan Super Warno yang berhasil wisuda. Aku merayakan khusus untuknya yang telah memberi aku inspirasi untuk menyelesaikan kuliah ku. Wajar saja bila dia dapat wisuda dengan waktu yang cepat. Mencapai puncak gunung saja dia tidak pernah. Aku berhasil membalas iri hatiku dengan merayakan ini untuknya.
Walau akhirnya aku wisuda, tetapi aku masih merasa betapa hebatnya kau Super Warno. Karena kudengar kabar dia telah menyelesaikan kuliahnya di kampus lain. Aku tidak perlu mempertanyakan akan jadi apa setelah kau tamat dan bergelar sarjana. Yang aku tahu kau bisa menyelesaikan dua-duanya sekaligus. Volume otaknya memang berlebih. Karena fungsi memori otak untuk tertawa geli atau untuk merasakan rasa takut tidak terpakai. Jadi aku yakin dia berani menghadapi hidupnya sendiri. Dia memiliki bekalnya sendiri untuk hidupnya.
Aku memang terkadang timbul penasaran bagaimana nantinya Super Warno menjalani hari-hari. Tetapi semua itu hilang bersama waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar