Senin, 21 Maret 2011

Pompino

Apa yang bisa menghentikan kesunyian dan kemiskinan yang telah bisa datang bertamu dan masuk keserambi jantung anda dan menari-nari mengikuti irama degup jantung. Dua hal itu segera terusir oleh Bram tua yang tadinya ditawarkan menjadi penjaga toko, pesakitan rasanya kalau sampai larut dalam irama kedua hal itu maka ia memutuskan memainkan musiknya sendiri dengan irama yang selalu berkemundang di benaknya. Tanpa mau menjadi penjaga toko, tanpa mau menyusahkan orang lain, tanpa memikirkan usia seniornya, tanpa rasa getir sedikit pun, kerja dengan menjual suara ia  berhasil mengantongi 150 ribu sehari dari siang sampai malam. Alasannya ia bekerja hanya karena ia terbiasa kerja, dulu di Italia katanya, “Pompino, kalau mau banyak uang hanya dapat dengan banyak bekerja”. Alasan lainnya soal kebiasaan badannya yang selalu bergerak dan berolah tubuh, ia baru bisa tidur kalau badannya telah bekerja dan berasa letih, seperti rutinitas hidup yang tak bisa diubah.
Bram Semakhul dari jalan Sabang (maaf jika aku salah menuliskan nama atau gelarmu) memiliki guru beladiri yang banyak, dari banyak guru berbagai ilmu beladiri baik itu Merpati Putih sampai guru seorang TNI yang menghormatinya dengan memberikan topi tentara. Ia telah membekali dirinya arti kata bela diri, membela diri bukan arti melakukan perlawanan terhadap kebebasan atau hal yang terpenjara, tetapi menurutku lebih dari itu ia membela diri demi kebebasannya itu. Anda bingung kan? Salah satu alasan lainnya adalah semenjak ditinggal istri ia memutuskan kembali ke jalan untuk mengamen. Hanya karena kerasukan setan dari gitarnya yang terus memanggil-manggilnya untuk dipetik dan di teriakan nada melengking dari sayatan tangannya demi sebuah lagu. Lagu-lagu Bram bukan hanya sebuah lagu, tapi semua itu karena penghargaannya terhadap jalan Sabang dimana dia dulu selalu bernyanyi sewaktu kecil, ia pernah dibesarkan sampai SMA di sana. Asli Makasar, mantan seorang pengemudi kapal kargo, telah mengarungi samudera dan telah menginjakkan kakinya di berbagai kebudayaan dari negara lain, telah banyak mengenal orang dari berbagai warna kulit sampai berbagai bahasa. Penyanyi adalah panggilan hidupnya sebelum matinya menjelang karena di atas kapal pun ia terbiasa menyanyikan lagu teruntuk kapten tercinta.
Penyanyi dari Sup Buntut Cut Mutia (sekali lagi aku mohon maaf jika salah menyebutkan gelar yang orang-orang berikan padamu), gelar buat Om atau Opa Bram bukan sembarang pelantun syair, bukan pemetik gitar biasa, lagunya adalah perjalanan mata kakinya sepanjang hidupnya. Ia juga mengingatkanku tentang sebuah pelajaran tentang keyatim-piatuan hidup anak manusia, bahwa hak asuh yang diambil langsung oleh jalanan, lautan atau kota yang kejam. Jalanan yang beradab sesuai peradaban jalan itu sendiri, aturan dan peraturan yang tak tertulis, dan semua itu sama halnya hidup seorang pelaut. Atau beliau mengenal tikus-tikus kantor dan preman tengik yang menghiasi kota yang memiliki kitab aturan tak tertulis yang siap beri badan atau mati demi menutupi bau busuk kriminalnya masing-masing. Semua pelajaran hidup itu ada dalam syair lagu-lagu yang dimainkannya, dari lagu “Balada Pelaut” sampai lagu yang dimainkan Balada Kera, “Sapu tangan bapucuk ampat”, lagu-lagu hit tujuhpuluhan sampai delapanpuluhan sesuai dengan umur pubernya.
Bertato Kapal Laut di lengan kanan, di dada tato bunga ros dan bertuliskan Peace and Love, tato Kapal Laut yang dirajah sebelum menjadi pelaut berarti memang cita-citanya seorang pelaut memang telah mendarah dagingnya. Gambar bunga ros berwarna merah, katanya berarti perempuan pujaan. Sementara kata Peace and Love bisa aku artikan suka damai dan bercinta dengan cinta-cintaannya. Giginya habis saat bermain bola, “jatuh alas kaput”, istilahnya sendiri diambil dari pengalamannnya di Jerman, katanya berarti semuanya rusak. Hal itu tak menghalangi suara lantang dan berserak keluar merdu dari mulutnya. Tak terdengar kata kotor dari mulutnya, baik itu Kutu Kuplet sekalipun, Kampret, Bajing, atau yang besar-besar dari itu seperti Anjing dan Babi. Yang anda dengar adalah syair Syam Bimbo bahkan koleksi lagu-lagu dari timur. Tutur katanya terjaga, disesuaikan dengan lingkungan hidupnya, mencoba menceritakan bagian hidupnya di sela-sela lagu yang di arasemen ulang olehnya.
“Banyak orang-orang yang stone membuat IQ kurang, gak kelas.” Begitulah yang ia selalu nasehati dirinya sendiri (stone itu istilah yang dipakai beliau untuk menggantikan kata mabuk, baik itu miras, narkoba, atau lintingan rokok). “Banyak yang bernyanyi hanya untuk menjual dirinya bukan suaranya, gak kelas.” Nasehat lain yang juga buat dirinya. Ia tak pernah bermaksud untuk mengajari orang yang lebih muda darinya, usianya telah menginjak 67 tahun tapi tak sedikitpun tampak menggurui. Ia berhasil keluar dari rasa sunyi, rasa miskin, dan rasa tua tubuhnya. Ia memiliki misi perdamaian dan cinta yang aku tangkap dengan jelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar