Ketika
si ibu mengeluh mencari buku pelajaran yang sekonyong-konyong hilang dari
pemasarannya. Lalu si Sulan yang juga guru menawarkan buku untuk membeli pada
dirinya, hanya lebih mahal sekian. Si ibu yang tak mau sibuk dan hitung-hitung
berniat membantu uang bensin dan mempermudah perkaya si Sulan, maka mudah di
tebak si ibu membeli saja sama si Sulan.
Dana
BOS daerah Jakarta untuk buku; sebesar Rp. 400.000 per siswa per tahun untuk
anak SD dan Rp. 575.000 per siswa per tahun untuk siswa SMP. Dana itu dicairkan
untuk sekolah-sekolah mengeloala sendiri buku-bukunya. Jadi kalau ada beberapa
sekolah yang menggratiskan buku-buku sekolahnya itu adalah berkat bantuan dana
BOS. Atau beberapa sekolah menerapkan system buku lungsuran, yaitu setiap siswa
akan dipinjamkan buku-buku tertentu sampai anak tersebut naik kelas, dan
kemudian dikembalikan ke sekolah untuk dilungsurkan pada siswa baru berikutnya,
begitu juga untuk murid kelas diatasnya berlaku system yang sama. Tetapi untuk
dana sebesar itu per siswa maka dapat dikalikan perjumlah siswa di sekolah
tersebut, sehingga sekolah dapat mengelola sendiri buku-bukunya.
Sejak
reformasi, buku tidak didominasi lagi oleh penerbit yang ditunjuk pemerintah
saja. Penerbit-penerbit lain juga ikut berkompetisi, maka sistematika penyaluran
buku sudah pasti dikelola langsung oleh sekolah-sekolah melalui dana BOS
tersebut. Sudah pasti harga buku akan jauh lebih murah karena langsung dari
penerbit. Akan tetapi kualitas buku akan seutuhnya berada dibawah pengelolaan
sekolah, jangan hanya harga yang murah tetapi tidak memenuhi kualitasnya.
Lalu
kenapa sampai ada kasus buku yang tidak terpenuhi siswa, atau jika siswa ingin
memiliki buku sendiri lalu buku hilang dari pemasaran. Kalau pun ada guru yang
ingin memperjual belikan buku sendiri tidak lah menjadi suatu masalah, justru
yang dipertanyakan adalah bagaimana sampai terjadi buku dari dana BOS itu tidak
tersalurkan? Memang tidak semua jenis buku yang bisa disediakan oleh sekolah
melalui dana BOS tersebut, tetapi beberapa sekolah berhasil melakukan sistem lungsuran
tadi untuk mengelola dana tersebut untuk memperbanyak jenis buku, bahkan ada
sekolah yang telah menggratiskan buku LKS-nya.
Sebenarnya dana BOS untuk buku ini sangat lah
positif untuk kemajuan pendidikan di Jakarta, setelah beberapa tahun belakangan
berjalan dengan baik, tetapi jika pengawasan dan sistemnya tidak diperbaiki,
maka sangat mempermudah celah untuk penyalahgunaannya. Yang tentunya akan
merepotkan orangtua murid, ujung-ujungnya harus bayar lagi, harus beli buku
yang lebih bagus selain dari buku yang disediakan sekolah.
Semua
ini hanyalah untuk mempermudah dan memajukan murid, lalu kalau masih ada
keluhan itu wajar, karena semua orangtua murid berhak tahu dan
mempertanyakannya. Jika sekolah yang tidak mau terbuka juga tidak apa tetapi
jangan menyulitkan murid dan orangtuanya. Untuk masuk sekolah yang bagus
lengkap dengan peralatan dan laboratoriumnya, bahkan buku sekolahnya juga
lengkap, juga buku-bukunya gratis atau dipinjamkan, juga gedungnya keren,
sangatlah banyak aturan khususnya buat anak calon murid bisa lulus seleksi. Anda
dapat membayangkan, dengan orangtua yang anaknya yang kurang pandai, miskin
pula, harus masuk sekolah yang gedungnya bobrok, dan buku harus bayar.
Semoga
semakin tahun semakin membaik dunia persekolahan di kota tersayang ini, dan
dapat jadi contoh kota-kota lain. Bukankah gaji guru disini sudah jauh membaik
dibandingkan guru-guru yang ikhlas hati memperdayakan dirinya mengabdi di
pelosok desa tertinggal. Dibandingkan tenaga
yang hanya dibayar UMR dan harus mendapat perlakuan kasar, tentunya guru akan
lebih mulia jika benar-benar mengabdi sebagai panggilan jawatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar