Aku sedang mencari
sesorang yang bisa membantuku. Orang yang sama sekali berbeda cara memandang
hidup ini, terlebih lagi mungkin sama dalam cara menerima nasib sebagai
pesakitan. Seseorang yang tak harus sama berkarakter seperti aku. Ini hanya
fikiran orangtua beranak dua seperti aku ini mungkin hanyalah sebuah lelucon
hidup. Tapi inilah yang akan aku lakukan saat-saat terakhir sebelum kematianku.
Aku butuh bantuan seorang yang ahli. Ahli tentang kematian dan kehidupan.
Aku memulai pencarian, kebetulan dan pembetulan,
juga mencari kebenaran dan pembenaran. Semuanya, baik itu dari orang-orang yang
ku anggap berjalan dalam hikmat, ataupun yang berjalan dalam kebetulan dan kebenaran.
Semua ahli dari berbagai ahli. Aku akan baca bukunya, tesisnya, aku akan dengar
ucapannya, tegurannya dan caciannya. Aku sudah siap.
-o-
(Petualangan hari
pertama)
Setelah mencari-cari dari berbagai sumber aku
telah membuat list untuk aku datangi
dan bahkan aku sediakan waktu ku untuk sesi tanya jawab. Semua persiapan telah
lengkap. Bahkan aku merasa dikejar waktu, semakin hari semakin kasip saja,
bahkan kematian yang aku takuti sudah tidak aku takutkan lagi.
Hari ini aku
mendatangi seorang pembaca nasib atau bisa disebutkan sebagai peramal masa
depan. Saat ini aku sanggup membunuh mereka dan sanggup membawa mereka mati
bersama, jika tidak menceritakan masa depanku atau nasibku dengan memberikan
jalan keluar yang terindah buatku, anakku dan istriku. Walhasil yang aku dapat
malah mereka menyumpahi kematianku bisa datang lebih cepat jika mempercayai
peramal gadungan, atau aku yang tidak mengerti ramalannya. Masak ia bisa-bisanya meramalkan kematianku bakal
tragis dan menyakitkan. Aku memang telah salah mendatangi dia.
Tak butuh waktu lama aku terus bergerak mencari
ahli yang lain. Terbayang olehku, akhir-akhir ini, betapa seringnya aku menghabiskan
waktu dengan menatap kosong keluar jendela kaca rumahku. Terkadang aku
tenggelam menatap foto-foto dalam layar komputerku, tentang liburanku,
kelahiran anak-anakku, rumah baruku yang kecil, atau apa saja. Terkadang aku
melamun saat istriku tengah bercerita tentang anakku yang terkecil telah tumbuh
menggemaskan. Aku terus melaju diatas roda motor otomatik.
Anak-anak belum mengetahui ayah sedang sekarat dan
istriku sedang teramat sayangnya pada kami, hari-hari sarat dengan senyuman
manjanya. Yang mereka tahu aku harus pulang kerja rutin setiap harinya memenuhi
kewajiban sebagai ayahnya, yaitu memberikan rasa aman dan nyaman, dan itu telah
menerima hatiku yang damai ini membuat mereka bahagia. Begitu juga menemui
istriku yang lelah siangnya menjadi ibu mereka lalu tengah malam tidur dengan mendengkur
sambil membalikkan badannya.
Dan rutinitas sejak si bungsu lahir yaitu
bercerita atau mendongeng sebelum tidurnya di temani kakaknya yang ikut-ikutan
mendengarkan. Kedua putriku tidur sekamar, karena rumah kami hanya ada dua
kamar tidur saja. Satu kamar buatku dan istri, satu kamar lagi buat kedua
putriku ini. Aku baru berniat akan membangun lantai dua. Akan aku bangun kamar
satu lagi di lantai atas dan satu tempat lagi untuk cuci jemur. Tapi niat itu
aku kubur dalam-dalam. Aku merasakan ada setetes air dingin mengalir di kedua
pipiku, aku menekan gas dalam-dalam dan ngebut.
Melakukan kehidupan sehari-hari dengan rutinitas
yang selalu sama, memang tidak ada yang salah. Menikmati pagi harinya.
Mengamati istriku yang selalu gragas
setiap pagi, setiap pagi selalu membangunkan si sulung bersiap ke sekolah,
berbeda dengan si bungsu yang bisa bangun sendiri tepat waktu. Istriku selalu
terburu-buru dalam rutinitas bangun pagi, hanya untuk menyiapkan sarapan pagi
dan persiapan anak sekolah. Juga anak-anakku selalu memperlakukan ibunya
seperti jam waker yang siap
membangunkan mereka, disiplin sekali anak-anakku memperlakukan ibunya. Istriku
tampak tidak ada lelahnya dan dibayar dengan respek baik dari anak-anaknya
dengan menciumi ibunya sebelum berangkat sekolah. Begitulah keindahan bangun
pagi, rutinitas yang sama sebelum aku berangkat kerja. Semua itu seperti
memutar kaset video yang ada di kepalaku ini.
Aku menarik nafas sedalam mungkin, ingin sekali
aku merasakan bahwa aku akan mengakhiri hidupku ini dengan penuh rasa bahagia. Aku
benar-benar butuh seorang ahli yang bisa membantu membuat sebuah proyek gila
tentang cerita-cerita yang bukan dongeng semata. Terbayang wajah putri
bungsuku, Sita, selalu saja memaksaku mendengarkannya cerita yang aku bacakan
atau aku ceritakan langsung tuk menemaninya tidur. Tiba-tiba aku merasa
terinspirasi dari kemauan putri bungsuku ini. Ahaa! Aku ingin selalu,
senantiasa menceritakan dongeng sebelum tidur untuknnya.
Aku ingin menceritakan kisah-kisah apa saja, dan mendongengkan
apa saja, yang banyak, sebanyak-banyaknya khusus buat putri bungsuku ini. Aku ingin
merekam hari-hari terakhir di dunia ini. Aku ingin menulis atau menyadur cerita
penyemangat tentang kehidupan diriku sebagai ayahnya. Akan aku buat agar anak bungsuku
ini selalu dapat mendengarkan cerita ayahnya sebelum ia tidur.
Aku yang sejak dulu selalu bersedia menceritakan
banyak cerita dongeng maupun kisah pribadiku sendiri, untuk kuceritakan padanya
sebelum ia tidur. Sampai sekarang usianya sudah sembilan tahun pun masih selalu
ingin ayahnya menceritakan kisah sebelum ia menjelang tidurnya. Proyek ini
mungkin tidak bisa aku lakukan sendiri aku butuh bantuan seorang yang bisa
mengerti mauku. Aku mencerahkan fikiranku sendiri untuk mengakhiri hidupku
dengan indah buat anak-anakku.
-o-
Seperti mendapat hidayah dan petunjuk yang dicerahkan,
aku mencari orang ini. Aku mencari seseorang yang menurut fikiranku dia ‘gila’,
dia seorang penulis dan pers sebuah warta di kota ini. Disaat pertemuan
pertamanya pada waktu lalu, aku mengetahui cara pandang hidup dan cara
memeperlakukan aku dengan sangat diluar kenormalan orang hidup normal. “Orang
ini mungkin bisa membantuku nantinya,” fikirku dan dalam hati bergumam terus
menerus tentangnya. Aku harus mencarinya dan membutuhkan bantuannya sekarang,
aku berputar haluan mengarah ke alamatnya.
Setibanya disana, mudah ditebak, rumahnya selalu
terkunci tetapi dia ada di dalam. Aku menemuinya untuk membantu proyek
terakhirku ini, aku juga harus mencari lasan yang tepat untuk membujuknya. Orang
ini terasa kental kehidupan nyentriknya, paling malas bertemu matahari pagi,
pasti dulunya keturunan Vampire, dan lebih suka mengurung diri di rumah.
Aku memilih seseorang yang memiliki cara memandang
hidup yang baik dalam hal menjalani dan menerima nasib, bukan berarti pasrah
dan nrimo ajah. Aku ingin mewariskan
petualangan hidup ini sebagai hadiah pengganti diriku yang nantinya tidak bisa lagi
menceritakan kisah-kisah sebelum bobo. Aku masih tetap terus menceritakan
kisah-kisah hidup yang baik buatnya dengan cara yang berbeda, begitu
proposalnya yang aku akan ajukan padanya. Aku sibuk menyusun kata rayuan agar
proposal jebol dan disetujui.
Akhirnya aku yakin memilih dia bukan karena tidak
ada pilihan lagi, padahal daftar yang aku buat sebelumnya masih panjang. Tetapi
karena dia dapat menyadarkanku akan pentingnya rasa bersyukur dan terima kasih
itu lah yang jadi pilihan. Juga karena aku merasa tidak punya waktu yang
banyak, aku memilih dia karena orang yang selalu hidup simple. Aku juga memilih dia bukan karena hal duniawi yang
menguntungkan tetapi semua karena kebahagiaan batin punyamu itu yang tidak aku
miliki. Karena sesungguhnya aku tidak punya uang untuk membayarnya. Aku
berharap ketulusan hatinya saja untuk menerima aku sebagai siswa yang magang.
Aku membulatkan hati, lalu mngetuk pintu
keras-keras agar terdengar riuh sampai ke dalam kamarnya. Berselang lima belas
menit tidak ada jawaban. Aku terus mencoba, pantang berpatah arang, terus
mencoba, kali ini pakai musik dari tutup bak sampah. Tiba-tiba kaleng minuman
melayang dan mendarat tepat di jidat. Klontang! “Aduh!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar