Pagi di bawah
pohon tua di desa Yahwari. Bapak tua dan anaknya tengah berteduh sejenak
setelah berjalan kaki dari rumah. Ayah
menatapi ranting kering dan dahan tak berdaun. Lama dan diam. Lalu suara dalam
dan berat keluar dari mulut ayah memecah sunyi.
"Jadi... sudah yakin kalian akan bercerai?"
Sebelum hari ini, yakni suatu siang menjelang
musim panas tiba, bapak tua ini, yang sekarang duda, tengah menanam bibit
Hollyhock disepanjang jalan menuju rumahnya. Untuk menyambut cucu putri
kesayangannya yang akan datang, musim panas ini semua bunga Hollyhock akan
berkembang menyambut putri kesayangannya dan cucu satu-satunya. Seperti ibunya
dulu sangat menyukai bunga Hollyhock.
Yang ditunggu sang ayah pun telah tiba lebih awal
dari perkiraannya. Tapi bersama wajah sedih melekat di putrinya yang
sudah tak muda lagi.
"Maafkan aku ayah."
Putrinya membuka diri dalam percakapan serius. Sementara ayah masih diam
berlindung di pohon tua dari sengatan mentari.
"Kau tak perlu meminta maaf.
Aku tahu kau jauh lebih terluka dibanding aku." Tanpa membalikan badan
ayah tak kuasa menatap putrinya yang tengah tertunduk lesu.
"Aku telah memendamnya
selama sepuluh tahun agar tidak membuatmu kecewa.... namun rasanya tak
tertahankan."
"Menjadi manusia memang
lebih kotor dari pada lumpur." Ayah sambil melirik dari bahu kanannya
tanpa membalikan badan. Kedua tangannya di belakang punggung sambil bertaut.
"Sampahnya hanya perlu
diangkat agar kembali bersih. Namun jejak yang ditinggalkan dengan menjadi
manusia tidak dapat dilenyapkan."
Wajah sedih anaknya memerah dan masih menunduk, dari sudut matanya mencoba
melihat ayahnya membalikkan badannya dan mendekat.
"Aku memercayakan si kecil Hyun kepada ayah. Karena aku butuh waktu untuk
mencari jalan demi memenuhi kebutuhan kami. Aku berjanji akan kembali
menjemputnya sebelum dia masuk sekolah menengah atas."
"Kau dapat mengandalkanku." Suara berat dan intonasi pelan
mendalam. Ayah tak berusaha tersenyum sedikit pun.
"Mengapa kau tidak ikut tinggal di desa?" Ayah menawarkan tempat.
"Tidak, ayah. Aku ingin membagun kembali hidupku di tempat aku
kehilangan segalanya." Kali ini putrinya memutar badan dan menatap jauh ke
depan. Ayah kembali arah, menghadap pohon tua tersebut.
"Aku mengerti. Kau benar-benar tegar. Coba perhatikan sejenak yang
diatas itu!" Ayah menunjuk daun hijau kecil-kecil yang tumbuh di batang
pohon tua. Anaknya mendekatkan wajahnya pada arah telunjuk kanan sang ayah.
"Tunas-tunas muda ini berhasil menembus kulit kayu pohon yang jauh
lebih keras dibandingkan kulit sapi. Bukankah itu luar biasa?"
Lalu ayah pindah menuju tanah dimana Hollyhock
yang sedang berusaha tumbuh dari biji yang ia semai. Ayah jongkok dan menunjuk
lagi pada daun kecil yang baru tumbuh itu.
"Dan lihat yang sebelah sini." Sang ayah mulai tersenyum.
Putrinya merukuk, menopang di kedua tangannya pada
kedua tumitnya.
"Daun-daun kecil mereka jauh lebih rapuh dibanding kuku-kuku bayi yang
baru lahir. Padahal mereka berhasil mengangkat gumpalan tanah yang beratnya
seribu kali darinya." Lanjut ayah sambil berdiri dan meletakkan kembali
kedua tangannya di belakang. Putrinya terkesima menerima petuah sang ayah.
"Tak lama lagi, mantel hijau akan menutupi semua dahan gundul pohon
itu dan juga tanah coklat ini. Kehidupan juga akan memberi kita cobaan, namun
itu tidak ada apa-apanya dibanding usaha yang dikerahkan tunas-tunas muda
ini." Ayah berhenti berujar dan membalikkan badan melanjutkan perjalanan. Kedua
tangannya berayun tegap.
"Pada setiap cobaan berat, aku sering mengamati tanah dan aneka pohon.
Alam jelas akan selalu menjadi guru yang terbaik bagiku. Dan kau." Wajah
ceria mulai merasuk di putri semata wayang dan mulai tersenyum. Seakan mengikuti
gerap langkah sang ayah.
"Ayaaaaah. Aku langsung merasa tubuhku bersemi. Sepertinya tunas-tunas
mudaku sudah tak sabar lagi ingin memulai hari." Sambil memeluk
tasnya di dada, sang anak tersenyum lebar.
Sesampainya di halte. Sang putri memainkan jemarinya di ujung bibir. Lalu sorot matanya cerah.
"Aku bahkan dapat merasakan telapak kakiku tergelitik." Alis
matanya naik. Ayah hanya melirik saja. Lalu ia tersenyum lagi.
Itulah sebabnya mengapa musim semi begitu berharga
bagi mereka yang menggarap tanah dan menanam pohon di dalam hati mereka.
-o0o-
Kim Dong Hwa
"Cerita ini saduran, Judul
buku; Sepeda Merah.”