Selasa, 05 Maret 2013

Tunas-tunas Muda


Pagi di bawah pohon tua di desa Yahwari. Bapak tua dan anaknya tengah berteduh sejenak setelah berjalan kaki dari rumah. Ayah menatapi ranting kering dan dahan tak berdaun. Lama dan diam. Lalu suara dalam dan berat keluar dari mulut ayah memecah sunyi.
"Jadi... sudah yakin kalian akan bercerai?"

Sebelum hari ini, yakni suatu siang menjelang musim panas tiba, bapak tua ini, yang sekarang duda, tengah menanam bibit Hollyhock disepanjang jalan menuju rumahnya. Untuk menyambut cucu putri kesayangannya yang akan datang, musim panas ini semua bunga Hollyhock akan berkembang menyambut putri kesayangannya dan cucu satu-satunya. Seperti ibunya dulu sangat menyukai bunga Hollyhock. 
Yang ditunggu sang ayah pun telah tiba lebih awal dari perkiraannya. Tapi bersama wajah sedih melekat di putrinya yang sudah tak muda lagi.
"Maafkan aku ayah." Putrinya membuka diri dalam percakapan serius. Sementara ayah masih diam berlindung di pohon tua dari sengatan mentari. 
"Kau tak perlu meminta maaf. Aku tahu kau jauh lebih terluka dibanding aku." Tanpa membalikan badan ayah tak kuasa menatap putrinya yang tengah tertunduk lesu.
"Aku telah memendamnya selama sepuluh tahun agar tidak membuatmu kecewa.... namun rasanya tak tertahankan."
"Menjadi manusia memang lebih kotor dari pada lumpur." Ayah sambil melirik dari bahu kanannya tanpa membalikan badan. Kedua tangannya di belakang punggung sambil bertaut.
"Sampahnya hanya perlu diangkat agar kembali bersih. Namun jejak yang ditinggalkan dengan menjadi manusia tidak dapat dilenyapkan."
Wajah sedih anaknya memerah dan masih menunduk, dari sudut matanya mencoba melihat ayahnya membalikkan badannya dan mendekat.
"Aku memercayakan si kecil Hyun kepada ayah. Karena aku butuh waktu untuk mencari jalan demi memenuhi kebutuhan kami. Aku berjanji akan kembali menjemputnya sebelum dia masuk sekolah menengah atas."
"Kau dapat mengandalkanku." Suara berat dan intonasi pelan mendalam. Ayah tak berusaha tersenyum sedikit pun.
"Mengapa kau tidak ikut tinggal di desa?" Ayah menawarkan tempat.
"Tidak, ayah. Aku ingin membagun kembali hidupku di tempat aku kehilangan segalanya." Kali ini putrinya memutar badan dan menatap jauh ke depan. Ayah kembali arah, menghadap pohon tua tersebut.
"Aku mengerti. Kau benar-benar tegar. Coba perhatikan sejenak yang diatas itu!" Ayah menunjuk daun hijau kecil-kecil yang tumbuh di batang pohon tua. Anaknya mendekatkan wajahnya pada arah telunjuk kanan sang ayah.
"Tunas-tunas muda ini berhasil menembus kulit kayu pohon yang jauh lebih keras dibandingkan kulit sapi. Bukankah itu luar biasa?"
Lalu ayah pindah menuju tanah dimana Hollyhock yang sedang berusaha tumbuh dari biji yang ia semai. Ayah jongkok dan menunjuk lagi pada daun kecil yang baru tumbuh itu.
"Dan lihat yang sebelah sini." Sang ayah mulai tersenyum.
Putrinya merukuk, menopang di kedua tangannya pada kedua tumitnya.
"Daun-daun kecil mereka jauh lebih rapuh dibanding kuku-kuku bayi yang baru lahir. Padahal mereka berhasil mengangkat gumpalan tanah yang beratnya seribu kali darinya." Lanjut ayah sambil berdiri dan meletakkan kembali kedua tangannya di belakang. Putrinya terkesima menerima petuah sang ayah.
"Tak lama lagi, mantel hijau akan menutupi semua dahan gundul pohon itu dan juga tanah coklat ini. Kehidupan juga akan memberi kita cobaan, namun itu tidak ada apa-apanya dibanding usaha yang dikerahkan tunas-tunas muda ini." Ayah berhenti berujar dan membalikkan badan melanjutkan perjalanan. Kedua tangannya berayun tegap.
"Pada setiap cobaan berat, aku sering mengamati tanah dan aneka pohon. Alam jelas akan selalu menjadi guru yang terbaik bagiku. Dan kau." Wajah ceria mulai merasuk di putri semata wayang dan mulai tersenyum. Seakan mengikuti gerap langkah sang ayah.
"Ayaaaaah. Aku langsung merasa tubuhku bersemi. Sepertinya tunas-tunas mudaku sudah tak sabar lagi ingin memulai hari." Sambil memeluk tasnya di dada, sang anak tersenyum lebar.
Sesampainya di halte. Sang putri memainkan jemarinya di ujung bibir. Lalu sorot matanya cerah.
"Aku bahkan dapat merasakan telapak kakiku tergelitik." Alis matanya naik. Ayah hanya melirik saja. Lalu ia tersenyum lagi.
Itulah sebabnya mengapa musim semi begitu berharga bagi mereka yang menggarap tanah dan menanam pohon di dalam hati mereka.

-o0o-
Kim Dong Hwa
"Cerita ini saduran, Judul buku; Sepeda Merah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar