Selasa, 11 Oktober 2011

(Hahay Story 059) Tukang Gudeg


Dari pagi penjual gudeg belum juga laris manis, dagangannya masih banyak. Lalu datanglah seorang ibu berbaju kusam dan kumal. Ibu tersebut memesan setengah porsi, sambil merogoh dompet kainnya ia dapati uangnya hanya tinggal sedikit. Tetapi si penjual gudeg memberikan satu porsi dan ditambahkan telur bulat.
“Aku tidak memesan ini bu!” kata ibu tua kumal itu.
“Sudahlah bu, buat ibu saja. Ndak apa-apa toh.” Mbok itu tersenyum ramah, lalu ibu tadi tiba-tiba sumringah dan matanya berkaca-kaca. Menyambut sepiring makanan dengan kedua tangannya lemah karena lapar. Keesokan harinya si ibu tersebut datang dan menghadiahinya dua bunga teratai putih yang ia petik dari telaga.
Beberapa hari kemudian penjual gudeg juga kedatangan bapak tua berpakaian necis dan trendy. Walau dari usianya bisa dibilang sih sudah uzur, tapi dari penampilannya tidak bisa dibilang ia kolot, dandanannya rapi jali dan modis, ala bapak-bapak pensiunan pengusaha property. Ia memesan satu porsi lengkap dengan lauk pauknya, dan mengambil posisi duduk di pinggir tenda yang pemandangannya langsung ke view jalan raya dan pasar hiruk pikuk. Setelah menyambut sepiring makanan ia melahapnya sambil bercerita pengalaman hidupnya. Mbok penjual mendengarkan dengan baik tanpa menyela atau bertanya. Pak tua puas sekali makan di sini.
Setelah makan ia siap membayar, akan tetapi ia lupa membawa dompet, gelagapan dan salah tingkah. Melihat pak tua itu kebingungan mbok penjual gudeg tersenyum sejuk.
“Ah pak, ndak usah mbayar. Anggap saja hari ini pak’e lagi dapat ndorprais. Besok-besok datang makan disini lagi.” Suara mbok itu lembut sehingga bapak tua itu dengan elegan mengeluarkan tangannya dari sakunya.
“Ha ha ha ha. Aku merepotkan kamu yah mbak?”
“Ah ndak pa pa kok.”
“Tapi maaf aku ndak sopan, aku juga ndak punya ongkos pulang, bisa kah kau pinjamkan aku uang?” si pak tua malu-malu atas keteledorannya, maklum sudah tua pikunnya kambuh. Si mbok meminjamkan uangnya kepada orang yang belum ia kenal tapi ia mencoba berprasangka baik saja.
Keesokan harinya si bapak tua datang kembali bersama anaknya, membawa bingkisan buah-buahan sebagai hadiah. Dan ia membayar hutangnya.
“Aku datang lagi toh? Aku tidak terlalu pikun kan? He he he.” Katanya. Si mbok tertawa senang melihat pak tua juga senang.
“Aku mendoakan bapak datang lagi untuk makan disini.”
“Oh ya berapa satu porsi yang aku makan kemarin?”
“Kan kemarin adalah ndorprais mbuat bapak. He he he.”
“Ya. Ya. Ya. Baiklah. Aku pesan satu bungkus buat aku bawa pulang.”

Beberapa hari setelahnya. Warung tendanya didatangi mahasiswa yang juga merupakan pelanggan pertamanya. Hari itu masih sepi pengunjung. Mahasiswa ini membawa tas berisi laptop dan buku-buku. Ia juga baru pertama kalinya makan di sini. Sebagai seorang mahasiswa ia tampak sekali seperti seorang yang cerdas, menjadi tumpuan keluarga dan harapan bangsa, setidaknya begitulah si mbok melihatnya. Mahasiswa itu pun memesan satu porsi gudeg plus lauk-pauknya. Duduk sambil mengangkat kaki satu layaknya makan di warung penuh kebebasan dari adab sopan santun makan diatas meja makan keluarga. Lahap sekali. Wajahnya sesekali berkeringat karena kepedasan.
Setelah makan ia siap membayar. Tetapi karena uangnya pas-pasan untuk ongkos pulang maka ia memasang wajah susah dan siap memelas.
“Mbok. Maaf yah, uangku tinggal cukup buat ongkos doang. Bolehkah aku berhutang hari ini?”
Dengan senyum lembut seperti biasanya dan dengan suara sejuknya ia memberikan kejutan buat mahasiswa itu. “Ndak. Ndak usah dek. Ambil saja ndek. Anggap saja makan pertama itu hadiah dari saya buat mahasiswa. Gratis.”
“Oh ya?” mahasiswa itu takjub dengan keramahan si mbok dan rasanya seperti mendapati durian runtuh. Betapa bahagianya dan pulang dengan fikiran bergejolak seperti penuh ilham.
          Keesokan harinya, seperti biasa sepulang mengikuti mata kuliah, mahasiswa itu datang kembali. Kali ini ia membawa kawan-kawannya. Dengan wajah sumringah dan penuh perasaan seperti penolong sesama mahasiswa, ia berkata, “Ayo teman-teman, makan sepuasnya, disini untuk mahasiswa, makan untuk pertama kali di sini! GRATIS!”
“Hah???” wajah si mbok pucat melihat begitu banyaknya kawan-kawan si mahasiswa yang ia sangka tumpuan keluarga dan harapan bangsa itu.
 

6 komentar:

  1. ha ha ha...gak tahu terima kasih banget nih mahasiswa.... kasian Mboknya dong.. ^_^
    kunjungi Balik yah..

    BalasHapus
  2. hahaaa....

    itu namanya mahasiswa banget...
    terlalu...

    BalasHapus
  3. wuah.... mahsiswa mana itu mas? perlu dikuliahin lagi tuh... he..he.. terkejut dg endingnya. salam kenal.

    BalasHapus
  4. Dienz, kayaknya mahasiswa sekarang gitu deh.. he he he he

    Hayatun Nufus, kamu berharap endingnya yang bagaimana?

    BalasHapus
  5. Yah kirain pada bayar kan lumayan dagangannya mbok laris manis...

    BalasHapus