Rabu, 04 Mei 2011

(Hahay Story 040) Kedondong

Sebatang kedondong tua tampak sangar menghadap ke jalan. Anak-anak SD yang melihatnya selalu tergoda untuk memetiknya. Dari arah jalan batang kedondong itu berdiri tinggi melebihi rumah sang pemilik. Pemiliknya adalah seorang bapak pensiunan tentara berpangkat rendahan. Memiliki jiwa temperamental dan meledak-ledak. Setelah pensiun memilih bekerja sebagai pelatih tinju sekaligus satpam dari sasana tinju milik bosnya. Rumahnya bersebelahan dengan ring tinju dan mess tempat anak latih yang menginap disana. Sasana yang cukup luas dan tidak berpagar, halaman lainnya ditanami dengan pohon jambu batu, mangga dan lontorogung. Kebetulan batang kedondong tepat berada di hadapan rumahnya dan menghadap ke jalan raya tempat anak-anak SD itu lalang lintas.
Hanya pohon kedondong itu lah berbuah, yang lainnya tidak berbuah sama sekali. Batang kedondong itu berbuah lebat sekali. Setiap hari anak-anak SD yang melewatinya meneriaki “minta dong om,” dan selalu di jam-jam pak tua itu sedang beristirahat bbs (bobo-bobo siang). Sambil lewat saja dan tak pernah anak-anak itu berani mendekati apalagi memanjatnya karena memang tak ada yang berani. Pak tua selain terkenal galak juga terkenal sangat nyentrik dengan dandanan ala tujuh puluhan. Layaknya potongan bekas tentara, wajah angkernya masih ketara. Seperti tengah terbangun dari mimpi buruk di siang bolong pak tua terengah-engah. Suara riuh bocah itu benar-benar merupakan mimpi buruk buatnya yang sedang menikmati bobo siang. “Hrrrrggghhhh! Awas yah!” suara mengaum dari mulut pak tua bagaikan macan ompong.
Tapi hari ini adalah hari yang berbeda, si Joni yang terkenal badung di SD itu layaknya sang jendral kancil siap memimpin pasukan untuk memanjat batang kedondong itu. Dan teman-temannya seperti mendapat angin segar, lalu siap menunggu perintah komandan, bersama 3 ajudan yang sama bengalnya Joni berjalan tegak menuju medan laga. Anak-anak butuh seorang patriot yang sanggup menghadapi veteran tua tersebut. Joni dan 3 temannya dengan sigap menaiki dahan-dahan kedondong yang lumayan licin. Anak-anak lainnya menunggu di bawah.
Karena riuh anak-anak lain yang kegirangan membuat pak tua terbangun. Baru beberapa buah yang berhasil dipetik tiba-tiba terdengar jeritan sang veteran dari dalam rumah. Kontan membuat anak-anak lari kocar-kacir. Belum sempat pak tua menghadapi bocah petualang itu mereka sudah kabur. Walau hanya mendapat beberapa buah saja, misi kali ini termasuk berhasil, dan Joni cs akan mengulanginya lagi esok hari.
Keesokan harinya Joni melakukannya dengan tenang dan tak bersuara seperti kemarin. Semua anak-anak hanya berbisik-bisik saja dan melangkah jinjit penuh kehati-hatian. Lalu Joni dan ketiga temannya siap beraksi lagi. Tetapi apa yang terjadi, ternyata batang kedondong telah dilumuri gemuk (licin seperti lemak dan kental seperti oli). Membuat Joni dan ketiga temannya jatuh bangun. Melihat temannya berjatuhan yang lain pun tertawa terpingkal-pingkal. Suara gaduh anak-anak itu pun telah membangunkan veteran tua itu lagi. Dan suara gelegar dari dalam rumah terdengar lagi meneriaki “maliiiing”. Anak-anak pun berhamburan kocar-kacir. Misi kali ini gagal total. Pak tua dengan nafas terengah-engah mendapati mereka sudah kabur lagi. “Anak-anak kurang ajar! Huh hah. Cepat sekali lari mereka. Awas ya aku tunggu kalian!” fikir pak tua.
Karena kemarin gagal, maka hari ini Joni menyusun strategi. Merasa kesal karena tidak mendapatkan hasil dan hari ini mereka siap melakukan perlawanan pamungkasnya, Joni telah mempersiapkan tangga dari bambu. Tapi kali ini pak tua pun telah siap melakukan perlawanannya dengan menjaga dari dalam rumah, beliau tidak bobo siang hari ini khusus untuk melakukan misi penyergapan dan penangkapan.
Dengan berjalan pelan-pelan Joni dan ketiga temannya menggotong tangga, diikuti oleh rekan-rekannya dari belakang. Jangan sampai ada suara apa pun kali ini, tidak boleh ada tertawa lagi, bahkan Joni melarang ada bersin-bersin dan kentut yang bersuara, cukup bau saja dan jangan bersuara. Pak tua telah mempersiapkan segala sesuatunya, borgol dan tali-temali, bahkan batang kedondong telah dililit dengan kawat berduri. Lalu Joni menyandarkan tangganya ke batang yang sudah dilumuri gemuk, kemudian ia memanjat sampai melewati dahan pertama. Setelah itu Joni harus melewati kawat berduri, dengan cerdik Joni membungkus tangannya dengan kain agar tidak tertembus kawat. Akhirnya Joni berhasil melewatinya, disusul kemudian oleh tiga temannya.
Sementara di dalam rumah pak tua mulai terkantuk-kantuk. Diluar tak terdengar suara riuh sama sekali. Pak tua merasa mungkin ini jam sekolah, jadi anak-anak badung itu belum pulang. Lalu ia benar-benar tertidur, tapi sesekali terjaga dan kupingnya ia tempelkan ke daun pintu. Tangannya menggenggam borgol dan tali. Pakaian perangnya pun ia pakai, lengkap dengan tanda jasa miliknya. Pertempuran kali ini siap ia menangkan. Tapi matanya tak kuasa menahan kantuk maka ia tertidur lagi. Di luar, Joni telah berhasil memetik buah-buah kedondong itu.
Tak lama berselang terdengar suara benda yang terjatuh dan pak tua itu terkejut dibuatnya. Tangga yang mereka pakai ternyata jatuh bersama salah satu temannya, tinggallah Joni dan dua temannya lagi yang masih berada di atas pohon. Pak tua tersadar bahwa musuh sudah mencapai garis tempur, ia bergegas keluar sambil berteriak, “serbuuuuuu.” Kontan anak-anak pun berhamburan kocar-kacir, kabur menghindari sergapan tentara tua. Dua temannya Joni yang berada diatas terjun dan langsung lari pontang-panting, tinggallah Joni sendirian.
Dengan nafas terengah-engah pak tua menengok ke atas mendapati Joni tengah asyik duduk santai sambil menguyah kedondong yang sudah matang. Geram dan murka pak tua tak tertahankan lagi. Sambil mengambil sebatang kayu, ia ayun-ayunkan ke atas, lalu melemparkannya ke arah Joni.
“Hai bocah tengil! Turun kau!” teriak pak tua tidak digubris Joni sama sekali.
“Ayo turun! Kalau berani sini kau!” teriak pak tua lagi.
“Kalau berani bapak aja yang kesini.” Jawab si Joni santai sambil memetik buah lainnya. Pak tua semakin gondok. Lalu ia masuk ke dalam rumah seperti hendak mengambil sesuatu.
Tak lama berselang pak tua itu pun keluar lagi dan kemudian memunguti batu-batu kerikil. Dengan ketapel karet dan peluru kerikil ia siap membidik si Joni. Melihat jelagat tak baik Joni siap-siap melindungi kepalanya. Dan, pletak! Tembakan pertama meleset.
“Gak kena. Gak kena. Gak kena.” Ledek si Joni. Pak tua semakin geram saja, lalu mencari batu kerikil yang agak besar, dan diletakkan di ketapel dan siap membidik lagi. Pletak.
“Aduh!” teriak si Joni, tulang kakinya terkena hantaman batu, ia mengerang kesakitan.
“Rasakan kau! Berani-beraninya kau melawan aku yah. Terima yang ini!” pak tua memungut batu yang agak besar lagi. Si Joni mendapati perlawanan yang tidak seimbang lalu ia bersiap-siap terjun. Tiba-tiba, pletak! Tembakan kali ini mengenai punggung Joni.
“Aduh. Aduh. Aduh. Awas yah kalau aku udah di bawah nanti!” gertak Joni.
Joni pun terjun di saat pak tua sedang mencari-cari batu untuk dijadikan pelor, kesempatannya buat melepaskan diri dari pak tua. Sesampainya ia di bawah dengan cekatan Joni merampas ketapel pak tua lalu lari. Sambil sesekali ia berhenti meledek pak tua. Pak tua pun tak mau kalah ia kejar Joni sekuat tenaganya, tapi apa lancung memang Joni terlalu muda untuk ia lawan. Walhasil pak tua jadi bulan-bulanan Joni. Sambil berlari kencang Joni berteriak, “Pak tua pelit!”
Keesokan harinya veteran tua itu memanggil anak latih tinjunya untuk menebang batang kedondong tersebut. Karena batangnya besar maka tak cukup satu dua jam untuk menebangnya. Sampai siang batang kedondong belum juga tumbang, sementara anak-anak SD telah pulang dari sekolahnya. Kemudian Joni dan teman-temannya duduk-duduk di seberang jalan menonton dengan tatapan haru, menghadapi kenyataan detik-detik terakhir batang kedondong itu rubuh. Detuman kapak yang membelah batang kedondong seperti dentuman genderang, bam bum bam bum.
Hari menjelang sore batang kedondong belum juga rubuh. Anak-anak yang tadi telah pulang ke rumah ternyata kembali lagi berdiri dan duduk-duduk di seberang jalan itu. Semakin ramai saja anak-anak dating menonton. Termasuk para remaja dan orang tua siap menyaksikan rubuhnya batang kedondong. Akhirnya terdengar teriakan pak tua, “tariiiiik.” Tali yang mengikat di batang itu siap ditarik. Krekekekek, kreeeeeeekkkkkkkhhhhh. Bum! Rubuhlah si kedondong tua yang telah berpuluh-puluh tahun menempati tempat itu jauh sebelum veteran tua itu datang.
Tapi bersamaan suara bum terdengar suara anak-anak SD itu, “horeeeeeeeeee.” Sambil berlarian mereka mendekati batang kedondong dan berebut memetik langsung buahnya dari dahannya. Dan mereka memunguti buah-buah kendondong yang jatuh. Alangkah senangnya hati anak-anak itu bisa memetik langsung buahnya. Hati pak tua itu pun juga senang, dengan berakhirnya buah terakhir ini maka berakhirlah mimpi buruk di siang bolong. Kemenangan buat kedua belah pihak, tidak buat kedondong tua, masa tugasnya telah habis.
ahay ....

3 komentar:

  1. pengalaman dan kenangan pribadi

    BalasHapus
  2. hhahha ... keren nih ^^ . kalau ini pengalaman pribadi, yang jadi Joni-nya siapa tuh *curious*

    BalasHapus
  3. fiction's world: I'am not Joni, but Joni mirip sama I
    he he he

    BalasHapus